I.
PENDAHULUAN
Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan
instrument dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan
kualitas kehidupan warganya. Di samping fungsinya sebagai media informasi dan
komunikasi, pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat karena apa yang
dituangkan di dalam sajian pers hakekatnya adalah denyut nadi kehidupan
masyarakat di mana pers berada. Dari tampilan pers itulah sebagian wajah
masyarakat, baik tingkat kemajuan maupun taraf berpikirnya dapat dicermati.
Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini
berjalan sangat cepat, baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun
penguasaan perangkat lunaknya, sejalan dengan perkembangan media massa di dunia
Internasional. Berita yang disiarkan di Eropa atau Amerika Serikat dapat
langusng diterima di Indonesia, baik melalui radio, televisi, maupun internet.
Pesatnya perkembangan media massa di Indonesia ini
didorong oleh penggunaan teknologi telekomunikasi dan informasi yang terus
berkembang. Era dunia maya (internet) telah memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam kecepatan arus informasi yang sangat diperlukan dalam pengembangan
media massa.
Aspek lain dalam mempercepat perkembangan media
massa di Indonesia adalah dibukanya keran politik untuk media massa, setelah
jatuhnya Presiden Soeharto. Sejak masa Presiden Habibie, Indonesia memasuki era
kebebasan pers. Kebebasan ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Pers No.
40 Tahun 1999 yang mengganti UU Pokok Pers No 21 Tahun 1982 di masa Orde Baru.
Dengan diberlakukannya UU pers tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu
Negara demokrasi utama di Asia.
II.
PERMASALAHAN
Ada beberapa permasalahan yang diambil pada makalah
ini, diantaranya adalah :
1. Sejarah Media Massa
2. Perkembangan Hukum Media
3. Pengertian Pers dan Hakekatnya Berkaitan dengan Hak
Asasi Manusia
4. Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia
5. Lintasan pers di Indonesia
III.
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Media Massa
Media massa yang
pertama lahir adalah media cetak. Hal ini sesuai dengan perkembangan teknologi
dimana teknologi percetakan lebih dulu lahir dibandingkan dengan teknologi
telekomunikasi dan teknologi penyiaran. Pada tahun 1440, Johan Gutenberg
seorang bangsa Jerman menemukan alat mesin cetak (metal). Meskipun pada saat
itu mesin cetak tersebut juga bisa digunakan untuk mencetak surat kabar, namun
surat kabar yang sederhana baru ditemukan di London tahun 1620.
Sebelum ditemukan
teknologi telekomunikasi, surat kabar adalah satu-satunya media yang disebut
sebagai pers (press). Teknologi
telekomunikasi pertama lahir tahun 1844 ketika Samuel Morse mengirimkan pesan
melalui alat telegraph yang pertama dari Washington DC ke Baltimore, 24 Maret
1844. Dengan ditemukannya telegram ini maka berkembang istilah komunikasi yang
memiliki arti berbeda dengan transportasi. Sebelum ditemukan teknologi
telegram, kata “transportasi” memiliki dua makna sekaligus yaitu pengiriman
barang melalui kendaraan pengangkut barang/manusia dan pengiriman pesan
komunikasi dalam arti yang sekarang. Penemuan ini kemudian disusul oleh Graham
Bell, yang pada tahun 1876 untuk pertama kalinya mengirim pesan melalui pesawat
telepon dengan kabel.
Tidak lama kemudian
ahli fisika Jerman Heinrich Rudolp Hertz menemukan bahwa energy dapat dikirim
tanpa melalui kabel. Nama Hertz kemudian diabadikan dalam satuan gelombang
radio. Pada saat yang bersamaan, di Italia seorang anak muda masih berumur 21
tahun bernama Guglielmo Marconi menemukan pula teknologi radio. Namun, di
Italia, Marconi tidak diakui, ia lalu pergi ke Inggris dan mendirikan usaha
Wireless Telegraph Signal Company tahun 1896. Lima tahun kemudian signal
Marconi bisa menjangkau benua Amerika.
Dengan berkembangnya
teknologi radio, maka bermunculanlah sejumlah radio amatir yang begitu banyak
sejumlah radio amatir yang begitu banyak banyak bak jamur di musim hujan.
Akibatnya frekuensi gelombang radio milik Angkatan Laut AS sering bertabrakan
dengan radio amatir. Pemerintah AS kemudian turun tangan dan membuat peraturan
baru bernama radio act 1912. Undang-undang ini antara lain mengatur bahwa para
penyelenggara radio harus memiliki izin sebelum siaran, penggunaan frekuensi
harus diawasi dan penggunaannya harus dengan izin teknis, Presiden AS memiliki
wewenang untuk menutup stasiun radio.
Setelah Perang Dunia I
jumlah stasiun radio di AS makin membengkak tak terkendali. Tahun 1924 sudah
terdapat 5.000 stasiun radio. Radio yang sudah menjadi usaha bisnis itu
berlomba-lomba merebut pendengar dengan berbagai cara. Bahkan pernah terjadi
sebuah misa gereja disiarkan oleh lebih dari satu pemancar radio dan dua
gelombang radio diantaranya saling bertabrakan untuk memperebutkan pendengar
yang sama. Keadaan inilah yang kemudian mendorong dilakukannya revisi terhadap
Radio Act 1912 dan kemudian keluarlah Radio Act 1927pemancar radio dan dua
gelombang radio diantaranya saling bertabrakan untuk memperebutkan pendengar
yang sama. Keadaan inilah yang kemudian mendorong dilakukannya revisi terhadap
Radio Act 1912 dan kemudian keluarlah Radio Act 1927. Dalam UU yang baru itu terdapat beberapa ketentuan baru, diantaranya
: gelombang frekuensi dinyatakan sebagai sumber daya alam yang harus dilindungi
dan dijaga. Radio Act 1927 juga membentuk Federal
Radio Commission (FRC) yang memiliki wewenang membuat peraturan bidang
ke-radioan, membuat klasifikasi radio, merumuskan banyak acara dan mengawasi
penggunaan frekuensi.
FRC kemudian diubah
menjadi Federal Communication Commission
(FCC) berdasarkan Communication Act 1934. FCC bertugas untuk mengatur tentang
komunikasi secara luas, tidak hanya radio. FCC kemudian menjadi model lembaga
regulasi penyiaran di dunia, termasuk menjadi salah satu acuan ketika
Indonesia, sekitar 70 tahun kemudian merumuskan sebuah Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) tahun 2002.
2.
Perkembangan Hukum Media
Hukum pers yang
berkembang di Indonesia dari masa Hindia Belanda sampai masa reformasi adalah
hokum pers cetak Sedikit sekali disinggung mengenai hokum pers penyiaran. Ada
beberapa penyebab mengapa terjadi ketimpangan atau ketertinggalan dunia
penyiaran dibandingkan dengan dunia jurnalistik cetak. Pertama, pers lahir
lebih dahulu daripada pers penyiaran, karena lembaga pers cetak memang labih
dahulu lahir daripada lembaga penyiaran. Hal ini bukan merupakan kasus istimewa
bagi Indonesia, karena perkembangan teknologi penyiaran memang baru ditemukan
sekitar 4 abad setelah teknologi cetak.
Kedua, sejak masa
kemerdekaan, media penyiaran di Indonesia berpuluh-puluh tahun dikuasai oleh
pemerintah, sehingga pers penyiaran juga merupakan pers pemerintah. Pers
penyiaran yang berorientasi kepada pemerintah tidak menimbulkan persoalan hokum
dan politik dengan pemerintah. Sebaliknya pers cetak memiliki banyak persoalan
hokum dan politik dalam berhadapan dengan pemerintah. Karena itu, pers cetak
memerlukan semacam “perlindungan hokum” yang lebih pasti. Dengan kata lain,
media cetak berada pada lorong yang penuh resiko berhadapan dengan pemerintah
maupun masyarakat, sementara media penyiaran berada pada lorong yang tidak
berhadapan dengan keduanya.
3.
Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari kata persen Belanda, pressInggris,
yang berarti “menekan” yang merujuk pada
alat cetak kuno yang digunakan dengan menekan secara keras untuk
menghasilkan karya cetak pada lembaran kertas.
Beberapa pengertian pers :
Menurut
Para Ahli :
Rifhi Siddiq
Pers adalah
sebuah alat komunikasi massal yang mempunyai fungsi mengumpulkan dan
mempublikasikan informasi yang terjadi dan merupakan sebuah lembaga yang
berpengaruh dan menjadi bagian integral dari masyarakat
R Eep
Saefulloh
Fatah
Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the
fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun
kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah
Wilbur Schramm
Dalam bukunya Four Theories of the Press yang
ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the
authotarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet
communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers
sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak
hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat.
· UU
No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dari pengertian pers menurut UU No.
40 Tahun 1999, pers memiliki dua arti, arti luas dan sempit. Dalam arti
luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata sosial yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
informasi. Sedanglan dalam arti sempit, pers merujuk pada
wahana / media komunikasi massa baik yang lektronik dan cetak.
Wahana komunikasi massa ada dua
jenis, yaitu media cetak dan media elektronik. Media massa
elektronik, adalah media massa yang menyajikan informasi dengan cara
mengirimkan informasi melalui peralatan elektronik, seperti radio, televisi,
internet, film. Sedangkan media massa cetak, adalah segala bentuk
media massa yang menyajikan informasi dengan cara mencetak informasi itu di
atas kertas. Contoh, Koran, majalah, tabloid, bulletin.
4.
Hakekat Pers berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
a.
Pers Sebagai Refleksi Kebebasan untuk Mengeluarkan
Pendapat
Arti kebebasan itu sendiri sebenarnya bersifat
anomaly atau mendua. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai istilah untuk menyatakan
ketidaktertarikan untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan kehendak dan hati
nuraninya maka makna inilah yang dikandung oleh kebebasan secara universal.
Pada sisi lain, tahap realisasi dari kebebasan itu sendiri, senantiasa
didasarkan atas tingkat keberadaan atau eksistensinya. Kebebasan mengandung dua
pengertian yaitu “bebas secara fisik maupun secara psikologis dari…”. Dalam
arti positif kebebasan itu adalah “bebas untuk…”. Hakekat dari kebebasan adalah
kemampuan positif sehingga manusia dengan berbuat khususnya berbuat (setidaknya
dengan tidak berbuat jahat) merealisasikan dirinya untuk menjadi orang yang
baik. Hal ini menjadi tanggung jawab insan paling utama sebagai refleksi
kebebasannya.
Menurut M. Solly Lubis, kebebasan adalah syarat
untuk mencapai hak. Dalam hal ini, untuk mewujudkan jaminan terhadap
pelaksanaan hak asasi harus dilaksanakan sesuai dengan asas demokrasi yang
berlaku dan mendasari system politik dan kekuasaan yang sedang berjalan. Karena
hak asasi itu bersifat Universal maka beberapa ketentuan dalam konvensi internasional
berkait dengan kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun
tertulis kira-kira perlu disebutkan. Di antarnya adalah :
1.
Dalam deklarasi
PBB pasal 19 berbunyi :
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa
gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat
dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Dalam Konversi Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial, Budaya
Konversi ini merupakan salah satu konvensi yang
berkait dengan hak asasi, diterima oleh majelis umum PBB pada 16 Desember 1966.
Konvensi ini berlaku sejak 3 Januari 1976. Beberapa pasal dalam ovensi ini yang
terkait dengan kebebasan mengeluarkan pendapat tetapi secara tidak langsung
dapat disebut diantaranya adalah :
Pasal
15 :
o Negara-negara peserta perjanjian mengakui hak setiap
orang untuk :
a.
Ikut serta dalam
kehidupan kebudayaan;
b.
Menikmati
manfaat kemajuan ilmiah dan penerapannya;
c.
Memperoleh perlindungan
rohani dan materi atas hasil produksi ilmiah sastra dan seni karyanya.
o Langkah-langkah yang diambil oleh Negara peserta
untuk mencapai realisasi sepenuhnya atas hak ini meliputi segala sesuatu yang
diperlukan bagi konservasi, pengembangan ilmu dan kebudayaan.
o Negara-negara peserta konservasi ini berusaha untuk
menghormati kebebasan yang sangat dibutuhkan bagi penelitian ilmiah dan
kegiatan kreatif.
Dikaitkan dengan UUD 1945, kendatipun Indonesia
belum meratifikasi konvensi itu, ketentuan yang diatur di dalamnya telah
memperoleh jaminan konstitusional. Secara implisit diatur dalam undang-undang
serta diimplementasikan dalam praktik. Hal ini dapat dilihat pada :
1.
Partisipasi
dalam lapangan kebudayaan dan karya sastra sebagaimana diatur dalam pasal 32
yang berbunyi : “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
2.
Kemajuan dalam
bidang ilmiah terkait dengan hak atas pendidikan, dijamin berdasarkan ketentuan
pasal 31 yang berbunyi :
1)
Tiap-tiap warga
berhak mendapatkan pengajaran;
2)
Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu system pengejaran nasional yang diatur dengan
undang-undang.
3.
Perlindungan
atas rohani dijamin berdasarkan ketentuan pasal 29 yang menyatakan :
1)
Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)
Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Masing-masing ketentuan sebagaimana disebut juga
sudah diatur dalam dan Undang-undang sebagai aturan pelaksanaannya sesuai
dengan amanat konstitusi.
b.
Pers Sebagai Manifestasi Hak untuk Memperoleh
Informasi
Secara alamiah pengetahuan manusia itu memang
terbatas. Untuk itu manusa senantiasa memerlukan informasi dari sesame manusia
lainnya. Dalm hal dan batas tertentu seseorang tidak akan bisa dan tidak
mungkin mengontrol, menguji, dan membuktikan kebenaran atas informasi yang ia
terima. Oleh karena itu hakekat dari sebuah informasi adalah kebenaran.
Sementara bagi penerima informasi yang dibutuhkan adalah kepercayaan. Kebenaran
dan kepercayaan bahwa apa yang didengar atau dilihat dan dibacanya itu benar
bisa dipercaya. Di dalam perkembangan hidup manusia, informasi senantiasa
menduduki posisi penting baik sebagai sarana penambah wawasan terlebih lagi
dalam kegunaan praktisnya sebagai komoditas untuk mempertahankan eksistensi
hidup. Manusia tidak mungkin hidup tanpa informasi, karena pentingnya posisi
ini, juga merupakan hak yang bersifat universal.
John Naisibitt di dalam bukunya Megatrends 2000 menyimpulkan pada masyarakat mutakhir telah terjadi
kecenderungan ke arah masyarakat global (megatrend) sebagai berikut:
·
Dari masyarakat
industry ke masyarakat informasi
·
Dari teknologi
asalanya buatan ke teknologi yang bersifat canggih
·
Dari
sentralisasi menuju desentralisasi
·
Dari bantuan
kelembagaan menjadi bantuan mandiri
·
Dari demokrasi
yang bersifat perwakilan ke demokrasi yang bersifat partisipatif
·
Dari hubungan
yang bersifat hiearkhis ke arah hubungan kerjasama
·
Dari kelompok
Negara maju (utara) ke kelompok Negara berkembang (selatan)
·
Dari pilihan
alternative ke pilihan berganda.
Legalisasi dari munculnya kebutuhan akan informasi
yang pada satu ketika mencatat kemajuan amat pesat ini sudah dikemukakan
sebelumnya oleh PBB. Dalam pasal 19 konvensi internasional tentang hak-hak
sispil dan politik yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1966. Dalam kovensi
dinyatakan bahwa :
1.
Setiap orang
akan berhak mempunyai pendapat tanpa dicampurtangani;
2.
Setiap orang
akan berhak menyatakan pendapat : hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima
dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperlihatkan batas,
baik secara lisan maupun tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui
sarana lain menurut pilihannya sendiri.
3.
Pelaksanaan
hak-hak yang diberikan dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan berbagai kewajiban
dan tanggung jawab khusus. Maka dari itu dapat dikenakan pembatasan tertentu,
tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan dengan undang-undang dan sepanjang
diperlukan untuk :
a)
Menghormati hak
atau nama baik orang lain
b)
Menjaga keamanan
nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum.
Berdasarkan konvensi di atas, diberikan jaminan atas
hak untuk menerima dan memberikan informasi baik secara lisan maupun tertulis
atau tercetak, termasuk mengekspresikan lewat karya seni. Pembatasan hanya boleh
atas dasar undang-undang yang dibuat oleh lembaga berwenang. Berdasarkan
ketentuan itu, pemerintah di berbagai Negara memberikan proteksi terhadap
kebebasan untuk memperoleh informasi. Termasuk Negara-negara yang beraliran
sosialis dan komunis mengartikan legalitas hak untuk memperoleh informasi itu
dengan jalan melakukan penguasaan tunggal atas informasi.
Memerinci
lebih lanjut dari hak atas informasi itu mengandung tiga elemen pokok :
§ Hak untuk mengumpulkan informasi;
§ Hak untuk menyebarkan informasi;
§ Hak untuk mengkomunikasikan informasi;
Adapun
sumber-sumber informasi bagi masyarakat itu pada umumnya berasal dari :
1.
Sumber pendapat
orang;
2.
Sumber system
informasi;
3.
Eksperimentasi
yang dirancang khusus untuk hal itu.
5.
Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia
1) Pers di masa
pergerakan
Setelah
muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang
dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat
itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan rakyat Indonesia. Pers
menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan
kedudukan bangsa. Contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain:
1.
Harian
Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan
bulan Juni 1920.
2.
Harian
Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
3.
Harian
Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
4.
Harian
Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
5.
Majalah
mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
6.
Majalah
berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
2) Pers di masa penjajahan Jepang
Pers di masa pendudukan Jepang
semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa
harian yang muncul antara lain:
1.
Asia
Raya di Jakarta
2.
Sinar
Baru di Semarang
3.
Suara
Asia di Surabaya
4.
Tjahaya
di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang
mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari zaman Belanda. Namun ada
beberapa keuntungan bagi wartawan atau insan pers yang bekerja pada penerbitan
Jepang, antara lain:
·
Pengalaman
karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat yang digunakan jauh lebih
banyak daripada pada masa Belanda.
·
Penggunaan
bahasa Indonesia makin sering dan luas. Karena bahasa Belanda berusaha dihapus
oleh Jepang, hal ini yang nantinya membantu bahasa Indonesia digunakan sebagai
bahasa nasional.
·
Adanya
pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh
sumber resmi Jepang. Kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa Jepang
memudahkan pemimpin bangsa memberi semangat untuk melawan penjajah.
3) Pers di masa revolusi fisik
Yaitu antara tahun 1945 sampai 1949,
saat itu bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih
tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi
perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan
yaitu:
1) Pers yang diterbitkan dan diusahakan
oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan Pers Nica (Belanda).
2) Pers yang terbit dan diusahakan oleh
orang Indonesia atau disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat
berlawanan. Pers Republik yang disuarakan kaum Republik berisi semangat
mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan sekutu. Pers Nica
berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda.
Contoh koran Republik yang muncul
antara lain: harian Merdeka, Sumber, Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional,
dan Pedoman. Pers Nica antara lain: Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di
Bandung, Suluh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di
Medan. Pada masa ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha
Surat Kabar (SPS) lahir, kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam
sejarah pers Indonesia.
Untuk menangani pers, pemerintah mcmbentuk Dewan Pers tanggal 17 Maret 1959.
Dewan terdiri dari orang-orang persuratkabaran, cendekiawan, dan pejabat
pemerintah, dengan tugas:
a.
Penggantian
undang-undang pers kolonial.
b.
Pemberian
dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya fasilitas
kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah).
c.
Peningkatan
mutu jurnalisme Indonesia.
d.
Pengaturan
yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia
(tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etika jurnalistik, dll).
4) Pers dimasa Orde Lama atau Pers
Terpimpin
Lebih
kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor
berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri
Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14,
antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh
bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat,
dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya:
keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”\
Awal
tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar,
majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang
diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa
perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun
1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar
perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara
sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah
dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini
merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah
percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung
politik pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan
penekanan kepada pers.
5) Pers di era demokrasi Pancasila dan
Orde lama
Awal
masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat
semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah
istilab pers Pancasila.
Pemerintah
Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam
rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan
nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat,
yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan
kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya
Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada
sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin
terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak
terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan
pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Prof.
Oeraar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mas Media dan Hukum menggambarkan kebebasan
pers di alam demokrasi pancasila dengan karakteristik berikut:
·
Kemerdekaan
pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan
pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat dari expression, seperti
dikatakan oleh negara sosialis.
·
Tidak
mengandung lembaga sensor preventif.
·
Kebebasan
bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukan tidak bersyarat sifatnya.
·
la
merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas tcrtentu, dan syarat-syarat
limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh hukum internasional dan ilmu
hukum.
·
Kemerdekaan
pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban yang untuk pers
sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka.
·
la
merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah
negatif karakternya, melainkan ia positif sifatnya, bila ia menyampaikan
wettigeinitiativen dari pemerintah.
·
Aspek
positif di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa
posisinya subordinated terhadap penguasa politik.
·
Adalah
suatu kenyataan bahwa aspek positif jarang ditemukan kaum liberatarian sebagai
unsur esensial dalam persoalan mass-communication.
·
Pernyataan
bahwa pers tidak subordinated kepada penguasa politik berarti bahwa konsep
authoritarian tidak acceptable bagi pers Indonesia.
·
Konsentrasi
perusahaan pers bentukan dari chains yang bisa merupakan ekspresi dari
kapitalisme yang ongebreideld, merupakan suatu hambatan yang deadwerkelijk dan
ekonomis terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk
perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative atau dalam
bentuk lain yang tidak memungkinkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers
dalam satu atau beberapa tangan saja, adalah perlu.
·
Kebebasan
pers dalam lingkunganbatas limitative dan demokratis, dengan menolak tindakan
preventif adalah lazim dalam negara demokrasi dan karena itu tidak bertentangan
dengan ide pers mereka.
·
Konsentrasi
perusahaan yang membahayakan performance dari pers excessive, kebebasan pers
yang dirasakan berlebihan dan seolah memberi hak kepada pers untuk misalnya
berbohong (the right to lie), mengotorkan nama orang (the right to vility), the
right to invade . privacy, the right to distort, dan lainnya dapat dihadapi
dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. la memberi ilustrasi pers yang
bebas dan bertanggung jawab (a free and responsible press).
6)
Kebebasan
pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era
reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk
sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di
bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di
bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali
menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan,
dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi
banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di
Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini
disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting
dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya
kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya
mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan
penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2. Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Pada masa reformasi, berdasarkan Undang-Undang tentang pers
No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1.
Memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
2.
Menegakkan
nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3.
Mengembangkan
pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
4.
Melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
5.
Memperjuangkan
keadilan dan kebenaran.
6.
Lintasan Pers di Indonesia
Perkembangan pers Indonesia pada umumnya dibatasi
pada momentum tertentu yaitu yang tidak terlepas dari kerangka politik di tanah
air. Momentum tersebut berkisar pada :
Ø Pers prapenjajahan Belanda
Ø Pers proklamasi dan perjuangan melawan penjajah
Ø Pers masa liberalism
Ø Pers “masa politik adalah panglima”
Ø Pers pembangunan atau pers pancasila
Pada masa penjajahan Belanda, cikal bakal pers
nasional berfungsi sebagai satu media informasi dan komunikasi yang menjadi
satu kesatuan dengan pergerakan nasional. Para pengusaha dan karyawan pers
nasional adalah tokoh pergerakan nasional yang sebagian besar menentang
penjajah di tanah air. Di sini pers berfungsi sebagai sarana perjuangan. Pers
nasional pada waktu itu jelas membedakan dirinya dengan pers Belanda sebagai
alat mempertahankan kekuasaan.
Pada masa proklamasi dan perjuangan melawan
penjajah, pengertian dan etos kerja dari pers nasional tidak berubah. Yaitu
tetap ambil bagian dalam memperjuangkan cita kemerdekaan. Ada perubahan istilah
dari pers Belanda yang kemudian disebut sebagai pers asing. Demikian pula dalam
perkembangan selanjutnya, pers nasional mencatat pasang surut sesuai di mana
pers tersebut berada. Pers nasional akan juga terus dipacu di masa depan
seiring dengan kemajuan pembangunan nasional pada umunya.
Periodisasi tentang perkembangan pers pada umumnya
diawali pada masa pra penjajah, pada masa proklamasi kemerdekaan, masa
liberalism, masa orde lama yang dimulai setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 dan
akhirnya adalah pers pada masa orde baru sampai saat sekarang. Sampai dengan
kemerdekaan Indonesia, ada 4 (empat) hal yang digarisbawahi sebagai fenomena
umum kehidupan pers pada masa itu. Disadari bahwa semua institusi social memang
mempunyai masa tersendiri pada jamannya.
A.
Dari awal
pertumbuhan di Hindia Belanda Nampak bahwa peran pemerintah jajahan begitu
dominan dalam bidang pers.
B.
Pers dijadikan
sebagai alat untuk kepentingan penguasa dengan tidak memberikan keleluasaan
bergerak baik karena keterbatasan fasilitas maupun keterbatasan kemampuan pengelola.
C.
Tingkat
intelektualitas masyarakat berpengaruh besar terhadap hidup dan berkembangnya
penerbitan sehingga pada akhirnya hanya penerbitan yang sejalan dengan
pemerintah saja yang memungkinkan bisa hidup.
D.
Pergesekan
kepentingan yang Nampak pada waktu itu adalah antara kepentingan penguasa
dengan pengelola pers dan masih belum muncul ke permukaan adanya konflik akibat
sajian pers yang merugikan masyarakat.
Dalam perkembangannya di bawah UUDS, ketentuan pasal
19 ayat 33 UUDS menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat. Kinerja dari badan ini terus berlangsung hingga
keluarnya Tap No.II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan
Nasional Semesta Berencana. Di dalamnya juga mengatur tentang hal yang
berhubungan dengan pers sebagaimana disebut dalam pasal 2 ayat (7) tentang
urgensinya memperkuat usaha penerangan dalam fungsinya sebagai media penggerak
massa. Pada masa berikutnya yang disebut dengan masa orde baru, atas dasar Tap
No. II/MPRS/1960 dan Tap No. XXII/MPRS/1966 mengamanatkan urgensinya UU Pokok
Pers. UU dimaksud lahir tanggal 12 Desember 1966.
Kendala umum yang dihadapi oleh pers dalam
kinerjanya dewasa ini berkisar pada masalah berikut :
a.
Keterlibatan
media pers kepada oplag;
b.
Adanya Hak privacy;
c.
Adanya
kepentingan Negara yang lebih tinggi;
d.
Terkondisinya
monopoli;
e.
Pengaruh
kekuatan lain.
IV.
KESIMPULAN
Dari beberapa bab di atas ada beberapa hal yang
sekiranya dapat disimpulkan, diantaranya :
1.
Media massa yang
pertama lahir adalah media cetak. Hal ini sesuai dengan perkembangan teknologi
dimana teknologi percetakan lebih dulu lahir dibandingkan dengan teknologi
telekomunikasi dan teknologi penyiaran.
2.
Ada beberapa
penyebab mengapa terjadi ketimpangan atau ketertinggalan dunia penyiaran
dibandingkan dengan dunia jurnalistik cetak. Pertama, pers lahir lebih dahulu
daripada pers penyiaran, karena lembaga pers cetak memang labih dahulu lahir
daripada lembaga penyiaran. Kedua, sejak masa kemerdekaan, media penyiaran di
Indonesia berpuluh-puluh tahun dikuasai oleh pemerintah, sehingga pers
penyiaran juga merupakan pers pemerintah.
3.
Menurut Wilbur
Schramm dalam bukunya Four Theories of the Press, yaitu the authotarian, the
libertarian, the social responsibility, dan the social communist theory.
Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat,
guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang
mengemuka di tengah-tengah masyarakat.
4.
Dua hakekat pers
yang berkaitan dengan hak asasi manusia, diantaranya adalah : pers sebagai
refleksi kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, dan pers sebagai pemenuhan dari
hak untuk memperoleh informasi.
5.
Beberapa harian media yang muncul pada masa
penjajahan Jepang adalah : Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara
Asia di Surabaya, dan Tjahaya di Bandung.
6.
Beberapa kendala
yang dihadapi oleh pers dalam kinerjanya dewasa ini, yaitu: keterlibatan media
pers pada oplah, adanya hak privacy, adanya kepentingan Negara yang lebih
tinggi, terkondisinya monopoli, dan pengaruh kekuatan lain.
V.
PENUTUP
Demikian makalah mengenai Sejarah Perkembangan Hukum
Media di Indonesia. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
§ Wiryawan SH, MA, Hari, Dasar-dasar Hukum Media, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007.
§ Prof. Dr. H. Wahidin, Samsul, SH, MS, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2006.
http://dhanynurdiansyah.blogspot.com/2013/02/perkembangan-pers-di-indonesia.html
Prof. Dr. H. Wahidin, Samsul, SH, MS, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2006, Hal 54-88.