I.
LATAR
BELAKANG
Salah satu ciri komunikasi ialah, bahwa
orang jarang dapat menghindari dari keturutsertaan. Hanya dihadiri dan
diperhitungkan oleh seorang lain pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang
paling umum, karena itu, kita semua adalah komunitor. Begitu pula siapapun yang
dalam setting politik adalah komunikator politik. Hal ini membentang dari
tukang yang mengganggur yang sedang berdiri di dalam antrian untuk mendapat
kupon makanan dan mengeluh bahwa “Presiden menghilangkan pekerjaannya dengan menutup
pelataran angkatan laut” sampai Presiden sendiri yang menyesali keadaan
ekonomi. Proses opini-komunikasi begitu serba mencakup sehingga setiap orang di
antara kita sekurang-kurangnya memiliki potensi untuk menjadi komunikator
politik.
Meskipun mengakui bahwa setiap orang
boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif sedikit yang
berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya secara tetap dan
sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik;
mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini,
dibandingkan dengan warga negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih
bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat (Nimmo dan Jalaluddin
Rahmat 28 : 2000). Dalam menandai satu jenis komunikator politik sebagai pemuka
pendapat kita perlu ingat akan hubungan antara komunikasi dan kepemimpinan
politik. (Nimmo dan Jalaluddin Rahmat 38: 2000)
II.
PERMASALAHAN
Beberapa pembahasan dalam makalah tersebut adalah :
1.
Definisi
dan Karakteristik Kepemimpinan Politik.
2.
Pemimpin
Organisasi dan Pemimpin Simbolik dalam Politik
3.
Ikatan
Komunikasi di antara Pemimpin dan Pengikut
4.
Kepemimpinan
Politik dalam Demokrasi Indonesia
5.
Persoalan-persoalan
Kepemimpinan Politik yang Terjadi di Indonesia
III.
PEMBAHASAN
1. Definisi
dan Karakteristik Kepemimpinan Politik
Ralph M. Stockdill telah merangkum definisi-definisi
ini serta mengatakan bahwa kepemmpinan melibatkan proses kelompok, pengaruh
kepribadian, seni meminta kerelaan, penggunaan pengaruh, persuasi, pencapaian
tujuan, interaksi, peran-peran yang diperbdakan, dan pembentukan struktur dalam
kelompok-kelompok. Selain definisi kepemimpinan yang banyak itu ada beberapa
teori mengenai kepemimpinan. Namun, ada empat yang mendominasi kepustakaan.
Yang pertama berpendapat bahwa pemimpin berbeda dari massa rakyat karena mereka
memiliki ciri atau sifat tersendiri yang sangat dihargai. Semua jenis pemimpin
di dalam segala macam setting dan budaya memiliki sifat tersendiri ini. Variasi
kedua ialah bahwa ada tiga jenis pemimpin yang keranjingan sifat-sifat tertentu
yang membuatnya tersendiri: manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah
tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru
bagi suatu bangsa, pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan yang
besar dan mulia, pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mendominasi
pangeran-pangeran lainnya.
Kesulitan teori sifat ini hanyalah bahwapara sarjana
belum dapat menemukan sifat tersendiiri tunggal, atau bahkan sejumlah terbatas
sifat yang membedakan, yang dimiliki oleh semua pemimpin di manapun. Hal ini
membawa kita pada pandangan kedua, yakni teori konstelasi sifat. Dalam teori
ini pemimpin memiliki sifat-sifat yang sama yang dimiliki oleh siapa pun,
tetapi memadukan sifat-sifat ini dalam suatu sindrom kepemimpinan yang
membedakannya dari orang lain. Oleh sebab itu, misalnya pemimpin itu bisa
menonjolkan karena lebih tinggi, lebih besar, lebih bersemangat, lebih
intelijen, percaya diri, tenang, dan sebagainya. Dalam meninjau beraneka studi
kepemimpinan ini, Stogdill mengamati bahwa para pemimpin memang memiliki
beberapa sifat yang derajatnya sedikit lebih tinggi daripada bukan pemimpin.
Namun, ia menyimpulkan bahwa hal ini hanya menunjukkan bahwa kepribadian adalah
salah satu faktor dalam pembedaan kepemimpinan; adanya sindrom itu tidak
menjamin peran pemimpin bagi seseorang, begitu pula tidak adanya sindrom
tersebut tidak menyebabkan seseorang tidak cocok untuk menjadi pemimpin.
Para peneliti kepemimpinan telah menjawab pendekatan
sifat kepada penetapan pemimpin dengan teori ketiga, yakni teori situasionalis.
Teori ini hanya berpendapat bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa
yang memimpin, siapa pengikut. Pengkritik aliran situasional, bagaimanapun,
menunjukkan bahwa teori itu tidak mampu menerangkan beragamnya tipe pemimpin
yang muncul dalam situasi yang berbeda atau mengapa dalam beberapa setting
tidak dapat diidentifikasi pemimpin yang dapat dilihat. Teori keempat yang pada
zamannya diterima secara luas ialah
bahwa kepemimpinan merefleksikan interaksi kepribadian para pemimpin dengan
kebutuhan dan pengharapan para pengikut, karakteristik dan tugas kelompoknya,
dan situasi. Jadi, ia berusaha menerangkan berbagai faktor yang pada umumnya
bertalian dengan pendefinisan kepemimpinan (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 39-40
: 2000).
2. Pemimpin
Organisasi dan Pemimpin Simbolik dalam Pemimpin
Bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin
politik, ia harus berperilaku sebagaimana yang diharapakan yang diharapkan
orang dari pemimpin; pengikut mengaitkan kepemimpinan dengan orang yang sesuai
dengan pengertian mereka tentang apa pemimpin itu. Beberapa komunikator
merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial
atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Di luar organisasi
mungkin mereka tidak banyak bagi orang. Komunikator seperti itu kita sebut
pemimpin organisasi. Namun, komunikator yang lain tidak menduduki posisi
demikian, mereka berarti bagi orang karena alasan di luar peran keorganisasian.
Komuikator politik yang merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang di
dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya,
kita beri nama pemimpin simbolik.
Jelas bahawa sebagian besar dari politikus,
komunikator profesional, dan aktivis politik adalah pemimpin organisasi.
Pejabat terpilih, ditunjuk, atau karier mempunyai posisi formal kepemimpinan di
dalam jaringan komunikasi yang terorganisasi yang membentuk pemerintah.
Komunikator profesional sering merupakan karyawan organisasi, yaitu wartawan
yang bekerja pada pelayanan kawat, koran, jaringan televisi, atau organisasi
berita yang lain, dan promotor sebagai anggota organisasi memublikasikan
kepentingan perusahaan, jawatan pemerintah, kandidat atau partai politik.
Jurubicara sebagai komunikator aktivis adalah hampir secara harfiah, pembela
organisasi. Dari komunikator politik utama yang dilukiskan lebih dulu, hanya
pemuka pendapat yang bekerja melalui keakraban yang disediakan oleh jaringan
komunikasi interpersonal berada terutama di luar struktur organisasi yang
diformalkan (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 47: 2000).
Kepemimpinan organisasi, menurut definisi, bekerja
melalui posisi komunikator alam struktur sosial yang tegas. Sebaliknya, kata
sosiolog Orrin Klapp, “Kepemimpinan simbolik bekerja pada massa dan khalayak
sebelum, tanpa, dan tidak dapat dihalangi oleh organisasi”. Orang menemukan
arti pada kepemimpinan simbolik yang melontarkan imajinasinya dengan penampilan
luar yang memukau dengan melambangkan gaya hidup yang menarik. “Teori
kepemimpinan simbolik ialah kepemimpinan yang diturunkan dari makna, dan makna
selalu tidak inheren. Jika seseorang membuat kesan yang benar, dan tidak
menyangkalnya. Secara terang-terangan, ia dapat menjadi simbol hampair apa saja
yang disukainya (atau yang disukai oleh nasibnya) (Nimmo dan Jalaluddin
Rakhmat, 48:2000).
Untuk lebih menjelaskan perbedaan di antara pemimpin
organisasi dan pemimpin simbolik, dan juga untuk mengesankan sumber-sumber
kepemimpinan simbolik, ada gunanya meneliti dua cara yang digunakan oleh para
teoris ketika mencoba menjawab pertanyaan yang sudah sangat tua. Satu pandangan
ialah bagaimana masyarakat muncul dan berlanjut melalui perantara Kontrol
sosial-organisasi, lembaga pendidikan, pemerintah yang membuat aturan dan
hukum, dan sebagainya. Perantara yang berorientasikan tugas ini adalah habitat
para pemimpin organisasi.
Ketika orang-orang membuat pilihan atau
pilihan-pilihan yang sama, ini adalah gejala seleksi konvergen, faktor yang
mendasari penciptaan dan penciptaan kembali tatanan sosial. Dalam konsepsi ini
opini publik hanya sebagai konsensus dari opini massa, produk independen yang
dengan bebas mencapai pilihan-pilihan pribadi; Setiap orang dipengaruhi oleh
iklan yang mempengaruhi perseorangan yang menjadi konsumen media massa, bukan
oleh propaganda yang mencapainya konsumen media massa, bukan oleh propaganda
yang mencapainya sebagai anggota kelompok sosial. Komunikasi kurang
berorientasikan tugas, tetapi lebih diarahkan untuk menciptakan ikatan-ikatan
emosional, dan melalui ikatan-ikatan itu diarahkan kepada kelompok-kelompok
sosial orang-orang yang tadinya terasing satu sama lain di dalam massa. (Nimmo
dan Jalaluddin Rakhmat, 48-49 : 2000).
Dalam satu hal kepemimpinan organisasi bahkan
memberikan pendorong bagi bagi komunikator politik untuk menjadi pemimpin
politik. Karena organisasi memolakan komunikasi, ia membatasi kebebasan
bergerak dengan rantai komando,
membatasi informasi yang dipublikasikan, dan sebagainya. Untuk menerobos keluar
dari organisasi kadang-kadang pemimpin mengambil sikap komunikasi yang
memberikan status orang termasyhur dan menciptakan simbol sambutan yang meluas.
Kepemimpinan simbolik menyoroti tindakan saling memengaruhi yang penting di
antara apa yang oleh para pengikut diharapkan menurut citra mereka tentang
pemimpin yang bercita-cita tinggi. Ini hanyalah satu unsur dalam segi penting
yang lain lagi dari peran komunikator sebagai pemimpin, yakni ikatan di antara
dan pengikut. (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 49-50 : 2000).
3. Ikatan
Komunikasi di antara Pemimpin dan Pengikut
Kepemimpinan dan kepengikutan adalah cara
komplementer untuk meninjau suatu transaksi tunggal: kita tidak dapat
membayangkan pemimpin tanpa pengikut, begitu pula pengikut tanpa pemimpin.
Kedua istilah ini mengingatkan kita bahwa orang-orang dalam peran yang saling
tukar menurunkan hal-hal yang berbeda dari kepemimpinan mereka yang timbal
balik; misalnya, untuk memperoleh dukungan rakyat, pemimpin memersonifikasikan
dan mengongretkan proses-proses yang abstrak itu bagi para pengikut dan
mmemberikan kepada mereka ketenangan emosional dalam situasi-situasi yang asing
dan memprihatinkan. Jenis kepuasan apa yang diperoleh pemimpin dan pengikut
dari transaksi yang memperkuat ikatan di antara mereka?
Bagi para pemimpin ada beberapa ganjaran seperti
itu. Misalnya, pemimpin mempunyai peluang yang lebih besar untuk “menguasai
keadaan” dan untuk mengendalikan
nasibnya. Lebih dari itu, ada sesuatu yang menarik dalam kemampuan mempengaruhi
orang lain, menegaskan kekuasaan di dalam kelompok, dan bahkan memberikan
keuntungan dan kerugian. Pemimpin organisasi biasanya menduduki posisi dengan
gaji yang menarik; pemimpin simbolik
sering mendapat bantuan keuangan dari pendukung yang kaya. Apalagi, ada
keuntungan yang meningkat karena memiliki status yang lebih tinggi, baik dalam
arti bahwa anggota-anggota kelompok menaruh rasa hormat kepada pemimpin mereka
maupun dalam arti bahwa pemimpin itu menguasai cukup sumber nafkah melalui
dukungan para pengikutnya umtuk berunding sebagai yang setara dengan, atau
bahkan lebih tinggi dari pemimpin kelompok lain.
Robert Salisbury menyamakan ikatan antara pemimpin
dan pengikut dengan ikatan antara pengusaha dan pelanggan. Pemimpin kepentingan
yang terorganisasi, misalnya memberi dorongan untuk menciptakan kelompok dengan
menyajikan intensif kepada orang-orang yang menjadi anggota kelompok, insentif
sebagai penukar “biaya” mereka untuk bergabung dan memberikan dukungan.
Keputusan ekspresif melibatkan kesenangan yang diturunkan dari identifikasi
dengan pemimpin, memproyeksikan kebutuhan bergantung pada pemimpin sebagai
simbol kondensasi, atau sekadar diidentifikasi sebagai pengikut yang setia dan
mengabdi.
Jika dirangkum, terdapat ikatan di antara pemimpin
dan pengikut yang ditempa oleh kepuasan material, sosial, dan emosional yang
diturunkan orang dari keikutsertaan dalam politik. Kepuasan ini, terutama yang
kurang berwujud, yaitu sosioemosional, muncul di dalam dan melalui proses
komunikasi. Komunikasi menciptakan, mendorong, atau menghancurkan rasa
solidaritas di antara orang-orang dan rasa puas pribadi dalam mengungkapkan
harapan dan cita-cita, ketakutan dan kegelisahan orang. Kemudian, sampai taraf
yang sangat luas, ikatan antara pemimpin dan pengikut adalah ikatan komunikasi.
Oleh sebab itu, komunikator politik utama memainkan peran strategis, bertindak
sebagai pemimpin politik dengan menyiarkan pesan-pesan yang oleh para pengikut
dianggap berarti dan memuaskan. Satu ukuran bagi arti dan kepuasan itu berupa
pandangan bukan pemimpin terhadap pemimpin. (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat,
49-51: 2000).
4. Kepemimpinan
Politik dalam Demokrasi Indonesia
Untuk menganalisis kepemimpinan politik Indonesia, di sini
digunakan kerangka pemikiran dari Cathy Gormley-Heenan (2001) dalam
risetnya, From Protagonist to Pragmatist: Political Leadership in
Societies in Transition. Ada sembilan isu kunci yang dijadikan kategori
yang mendasari analisis: (1) penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan politik;
(2) aktivitas memimpin partai; (3) pemenuhan janji kepada konstituen; (4)
pembinaan hubungan dengan partai lain; (5) pelayanan publik; (6) persiapan
menghadapi pemilu selanjutnya; (7) pengelolaan dan penataan ulang partai; (8)
kesiapan menghadapi perubahan; dan (9) manajemen proses.
Gormley-Heenan menggunakan kerangka pemikiran ini untuk
menganalisis negara-negara yang sedang mengalami konflik atau yang sedang
berada dalam transisi. Indonesia, yang masih dalam masa transisi dari negara
otoriter ke negara demokrasi, cukup sering dilanda konflik horisontal. Oleh
karena itu, kerangka pemikiran ini cocok juga digunakan untuk menganalisis
Indonesia.
Penggunaan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan Politik
Penggunaan kekuasaan politik dan sensitivitas terhadap
hal-hal yang terkait dengan penggunaan kekuasaan penting dalam kepemimpinan
politik. Jika pemimpin kurang sensitif terhadap isu-isu terkait dengan
penggunaan kekuasaan dan hanya bertindak berdasarkan kepentingan satu atau
beberapa kelompok, maka kepemimpinannya tidak akan berefek signifikan terhadap
perbaikan dan perubahan negara yang positif.
Kita saksikan belakangan ini ada kecenderungan kepemimpinan
politik Indonesia sering menampilkan tindakan yang dipersepsi lebih
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu ketimbang kepentingan rakyat. Selain
kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang sudah diproses secara hukum, masih
banyak ditemukan indikasi penyalahgunaan yang diberitakan di media massa dan
diulas di forum-forum diskusi. Dari situ, tampak sensitivitas pemimpin politik
Indonesia masih rendah. Kepemimpinan politik Indonesia masih rawan
penyalahgunaan kekuasaan. Sementara penggunaan kekuasaan yang diarahkan kepada
perbaikan kondisi masyarakat Indonesia masih terus ditagih karena
pelaksanaannya tampak setengah hati.
Aktivitas Memimpin Partai
Keterampilan kepemimpinan dibutuhkan juga untuk mengelola
partai. Banyak persoalan yang menghambat dan merugikan negara berasal dari
perilaku orang-orang partai yang memegang kekuasaaan baik eksekutif maupun
legislatif. Persoalan-persoalan itu semestinya dapat dicegah atau ditangani
secara cepat oleh pemimpin politik dari partai-partai itu agar tidak mengganggu
kinerja kepemimpinan nasional. Negosiasi, konsesi dan tarik-menarik kepentingan
antara pemerintah dan partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat dan
tepat oleh para pemimpin politik di dalam partainya sehingga tidak mengganggu kinerja
kepemimpinan politik dalam mengelola negara.
Kita bisa saksikan kasus-kasus korupsi yang melibatkan
elit-elit partai, baik yang memegang jabatan di pemerintahan maupun yang hanya
menjabat di partai. Selain itu konflik dalam partai marak diberitakan oleh
media massa. Contohnya, Partai Demokrat saat ini sedang mengalaminya meski
berkali-kali dinyatakan oleh beberapa pengurusnya bahwa mereka masih solid.
Tetapi secara intuitif kita dapat menyaksikan konflik itu ada. Pemimpin politik
Indonesia tampaknya masih belum mampu memimpin partainya untuk tetap solid dan
menghindarkan kepemimpinannya dari kepusingan dan kebingungan yang menguras
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengatasi masalah-masalah dalam partainya.
Pemenuhan Janji kepada Konstituen
Pemenuhan janji kepada konstituen merupakan satu indikator
dari efektivitas kepemimpinan politik. Selain keterampilan kepemimpinan untuk
mengelola partai, pembinaan hubungan baik dengan konstituen menjadi kunci
keberhasilan kepemimpinan politik. Kemampuan untuk mengelola dan memenuhi janji
kepada konstituen memungkinkan pemimpin politik untuk dapat bekerja efektif.
Sebaliknya, jika pemimpin politik tak dapat membina hubungan baik dengan
konstituen, maka kepemimpinan politik akan berlangsung tanpa dukungan mereka
sehingga bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan tidak dapat
berjalan baik. Kepemimpinan politik akhirnya menjadi kepemimpinan tanpa mandat.
Seperti sudah jadi pengetahuan umum di Indonesia, setelah
pemilu, konstituen seakan tak diperlukan lagi. Janji-janji orang yang kemudian
terpilih jadi pemimpin politik seperti tak diingat lagi. Pemenuhan janji
tampaknya bukan hal yang penting bagi mereka. Kepemimpinan politik Indonesia
kebanyakan berjalan seperti tanpa mandat dan para pemimpin pun tampak merasa tak
perlu mempertanggungjawabkan mandat dari konstituen yang diembannya.
Pembinaan Hubungan dengan Partai
Lain
Membina hubungan baik dengan partai lain menjadi hal yang
niscaya meski sulit dilakukan, apalagi jika partai lain sejak awal memutuskan
untuk menjadi oposisi. Pertentangan dengan partai lain yang intens dan
berkepanjangan akan menguras tenaga dan menghambat jalannya pemerintahan.
Tetapi, pembinaan hubungan itu jangan sampai melulu mengurusi pembagian
kekuasaan. Kerjasama antarpartai harus diarahkan kepada usaha penerapan
kebijakan dan pelaksanaan program untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Kita tahu ada pembinaan hubungan antarpartai seperti yang
ditampilkan dalam bentuk Sekretariat Gabungan. Tetapi kita juga menyaksikan
partai-partai itu seringkali tidak harmonis, bahkan saling mengancam, saling
menyandera dan saling memaksakan kepentingan masing-masing. Hubungan
antarpartai tampaknya baru sampai urusan pembagian kekuasaan, berapa menteri
dari partai anu, berapa banyak yang akan diperoleh partai lainnya. Itu pun
masih banyak terjadi konflik kepentingan yang menguras banyak waktu, tenaga,
pikirn dan biaya sehingga kinerja kepemimpinan politik Indonesia tak efektif.
Melaksanakan Pelayanan Publik
Pembinaan hubungan antara pemimpin politik dan para aparat
negara yang bertugas menjalankan pelayanan terhadap masyarakat merupakan satu
kunci penting dalam kepemimpinan politik. Pemimpin politik harus dapat menjamin
terlaksananya pelayanan publik, bekerjanya setiap sektor untuk meningkatkan
kualitas hidup rakyat, mengembangkan masyarakat. Kepemimpinan politik yang
buruk bukan hanya membuat kinerja pelayanan publik tidak efektif, melainkan
juga melemahkan mentalitas dan moralitas para petugas pelayanan publik.
Pelayanan publik di Indonesia masih tergolong buruk meski
sudah ada beberapa perbaikan, seperti kartu miskin yang memperingan biaya
kesehatan dan pendidikan. Secara umum pelayanan publik di Indonesia masih jauh
di bawah standar kelayakan. Sarana transportasi, bahkan di kota besar
sekalipun, masih minimal. Pelayanan kesehatan dan penyediaan pangan dan
perumahan rakyat juga demikian. Berbagai macam urusan yang memerlukan
persetujuan aparat pemerintah masih berlangsung lambat. Penerapan dan
penanganan hukum masih diskriminatif. Praktek pungutan liar, sogok-menyogok dan
suap masih berlangsung. Kepemimpinan politik Indonesia belum dapat melaksanakan
pelayanan publik secara memadai.
Mempersiapkan Pemilu Selanjutnya
Tantangan-tantangan terhadap kepemimpinan sering muncul
berkaitan dengan pemilu selanjutnya. Banyak serangan dan gangguan yang
ditujukan kepada pemimpin politik dalam rangka menurunkan popularitasnya
sehingga perolehan suarannya menurun di pemilu selanjutnya. Efek dari serangan
dan gangguan itu seringkali bukan hanya menurunkan popularitas, melainkan juga
melemahkan kinerja kepemimpinan politik sehingga penerapan kebijakan dan
pelaksanaan program-program pemerintah tidak berjalan. Pemimpin politik harus
memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan-tantangan itu, mengatasi serangan
dan gangguan itu secara efektif dan efisien.
Menghadapi Pemilu 2014, partai-partai mapan yang ada di
Indonesia sudah mulai saling menyerang dan saling melemahkan. Kepentingan
menang pemilu itu bisa berefek kepada kinerja kepemimpinan nasional. Isu-isu
seputar siapa yang akan dicalonkan menjadi presiden sudah beredar dan mengusik
pemimpin politik Indonesia untuk menanggapinya, bahkan Presiden SBY secara
khusus menanggapinya. Meski belum sampai secara langsung mengganggu kinerja
kepemimpinan politik Indonesia, isu pemilu yang akan datang sudah mengambil
porsi perhatian para pemimpin politik dan bisa jadi mengganggu konsentrasi
kerja mereka mengelola negara. Isu-isu kudeta atau pemakjulan bermunculan,
meskipun pihak-pihak yang terkait sudah membantahnya. Situasi itu memberikan indikasi
bahwa kepemimpinan politik Indonesia belum dapat mengatasi tantangan-tantangan
kepemimpinan terkait isu politik secara optimal.
Penataan Ulang Partai
Terpilihnya pemimpin politik (sebagai presiden, gubernur,
bupati atau walikota) dari partai tertentu menuntut partainya untuk melakukan
penataan ulang partainya untuk menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan situasi
politik yang berlangsung setelah itu. Pemimpin politik sebagai kader dari
partainya harus memiliki kemampuan menata partainya sesuai dengan kebutuhannya
untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin politik. Penataan ulang partai perlu
dilakukan untuk kebutuhan dukungan di dewan perwakilan rakyat, pengaturan
koalisi, penempatan kader partai dalam pemerintahan, pengelolaan konflik dan
sebagainya. Tanpa kemampuan menata ulang partai, kepemimpinan efektif tak bisa
dicapai. Kepemimpinan politik nasional harus mempersiapkan dirinya untuk
kemungkinan-kemungkinan penataan ulang partainya.
Terkait dengan belum mampunya pemimpin politik memimpin dan
mengelola partainya untuk tetap solid, aktivitas penataan ulang partai politik
oleh para pemimpin politik Indonesia pun masih belum optimal. Malah banyak
terjadi konflik internal partai. Alih-alih partai menunjang berjalannya
kepemimpinan politik Indonesia secara efektif, justru persoalan-persoalan
internal partai jadi pengganggu. Urusan internal partai malah menyedot banyak
waktu, tenaga, pikiran dan biaya para pemimpin politik Indonesia.
Kesiapan Menghadapi Perubahan
Perubahan politik merupakan satu implikasi dari pergantian
kepemimpinan politik nasional, bahkan menjadi tuntutan bagi kepemimpinan
politik yang baru. Jika tidak, kepemimpinan itu tidak berbeda dengan
kepemimpinan sebelumnya dan dapat kehilangan mandat dalam memimpin. Perubahan
politik selalu mengandung risiko dan pemimpin harus bersiap-siap menanggung
risiko itu.
Ada kecenderungan para pemimpin politik Indonesia
menghindari perubahan yang signifikan. Mereka tak menampilkan keberanian
menghadapi risiko. Mereka cenderung mempertahankan status quo.
Dibandingkan dengan kepemimpinan politik terdahulu, tidak ada perubahan berarti
yang terjadi. Tak ada program yang sungguh berbeda dan berefek kuat terhadap
perbaikan kondisi masyarakat. Meskipun secara makro keadaan ekonomi Indonesia
tergolong stabil, bahkan meningkat, tetapi secara umum program-program yang
dilaksanakan tak berbeda secara signifikan dengan program-program di periode
terdahulu. Malahan, beberapa kebijakan terobosan yang banyak mendapat tanggapan
positif ditinjau kembali, seperti wewenang Komite Pemberantasan Korupsi dan
wewenang Mahkamah Konstitusi.
Manajemen Proses
Manajemen proses merupakan elemen esensial dalam setiap
komitmen keterlibatan dalam jabatan politik. Untuk menjamin tanggung jawab dan
mandat dari rakyat dapat terlaksana secara baik, pemimpin politik harus dapat
menjaga berjalannya penerapan kebijakan dan pelaksanaan program. Ia harus
memahami mekanisme dan aturan dari penerapan kebijakan dan pelaksanaan program,
menjaga semua itu agar terus berlangsung, mengendalikan proses ke arah yang
direncanakan. Tanpa kemampuan manajemen proses, kepemimpinan politik tak akan
berjalan baik.
Kita saksikan banyak program yang tidak berkelanjutan. Kita
temukan juga undang-undang yang sudah disahkan dan diundangkan negara tak
sungguh-sungguh diterapkan dalam masyarakat, hambatan-hambatan dalam pencairan
dana program, lambatnya penanganan-penanganan masalah di dalam dan luar negeri.
Masih banyak mekanisme dan aturan penerapan kebijakan dan pelaksanaan program
yang belum jelas atau tak tersosialisasi secara baik. Kepemimpinan politik
Indonesia masih belum dapat menjaga dan mengendalikan proses pembangunan negara
secara optimal. (dikutip dari sumber http://www.p2d.org/index.php/kon/53-32-juli-2011/278-kualitas-kepemimpinan-politik-indonesia.html)
5. Persoalan-persoalan
Kepemimpinan Politik yang Terjadi di Indonesia
Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia
sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya
pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009
untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil
presiden (Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari
dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah
berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar
demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
Namun sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami
penurunan partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang
mencapai 96,6 %. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami
penurunan, dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai
84,1 % untuk pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu
2009, tingkat partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan
71,7 % untuk Pilpres.
Menurunnya angka partisipasi politik di Indonesia dalam
pelaksanaan pemilu ini berbanding terbalik dengan angka golput (golongan putih)
yang semakin meningkat. Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari
masyarakat di tengah pesta demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan wahana
bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih orang-orang yang
dianggap layak untuk mewakili masyarakat, baik yang akan duduk di kursi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan
Wakil Presiden.
Hak untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak
Asasi Manusia yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3).
Tingginya angka golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang memandang
bahwa hak asai manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal ini adalah
kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang tidak ada aturan
atau hukum yang menjerat bagi orang-orang yang tidak turut serta berpartisipasi
politik dalam pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka golput terus
meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia yang
akan semakin tidak berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari para warganya.
Yang kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika
politiknya. Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat
dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu
etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai
subyek etika. Walaupun dalam konteks politik berkaitan erat dengan masyarakat,
bangsa dan negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia
sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan
senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan
berbudaya.
Masih mengambil contoh yang sama yaitu mengenai pemilihan umum,
dimana pemilihan umum yang seharusnya terjadi sebagaimana tercantum dalam Pasal
22E ayat (1) UUD 1945 adalah pemilihan umum secara langsung dan umum, sera
bersifat bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun bagaimanakah etika politik dari
para aktor dalam pemilihan umum, khususnya calon pemerintah dan calon wakil
rakyat di Indonesia ?
Pemilihan umum di Indonesia merupakan arena pertarungan
aktor-aktor yang haus akan popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi
pemerintahan di Indonesia adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji
untuk memikat hati rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan
berbagai janji mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila
terpilih dalam pemilu, mereka berjanji untuk mensejahterakan rakyat,
meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan
bagi rakyat, dan sebagainya.Tidak hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk
mencari popularitas di kalangan rakyat melalui tindakanmoney politics.
Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan
melanggar etika politik. Hak pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa
dipaksakan oleh orang lain, namun melalui money politics secara
tidak langsung mereka mempengaruhi seseorang dalam penggunaan hak pilihnya.
Selain itu, perbuatan para calon petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar
prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan
mempengaruhi hak pilih seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena
jika rakyat yang dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar
penilaian yang subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon
tersebut. Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak
adil bagi calon lain yang menjadi pesaingnya.
Apabila calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah
melakukan persaingan tidak sehat tersebut berhasil menduduki jabatan
pemerintahan, tentu sangat diragukan apakah ia dapat menjalankan pemerintahan
yang bersih atau tidak. Terbukti dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan
di Indonesia saat ini, khususnya mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil
rakyat, yang terlibat kasus korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang
mereka lakukan melalui money politics dimana mereka sudah
mengaluarkan begitu banyak dana demi membeli suara rakyat, sehingga ketika
mereka berkuasa mereka akan cenderung memanfaatkan kekuasaannya yang antara
lain bertujuan untuk mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan tersebut.
Tidak hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil
rakyat tersebut juga tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai
seseorang yang seharusnya mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi
mencapai kesejahteraan rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk
membela rakyat yang bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang
mereka ungkapkan ketika masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan
jatidiri sebagai seorang pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat
terhadap mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak anggota
DPR yang menginginkan gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana yang
mewah yang semuanya itu menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah yang tidak
sedikit. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, bahkan
untuk sekedar rapat saja mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen, atau
mungkin hadir namun tidak berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering
diberitakan ada wakil rakyat yang tidur ketika rapat berlangsung.
Terakhir atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang
dari segisistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan
suprastruktur politik di Indonesia. Infrastruktur politik
adalah mesin politik informasl berasal dari kekuatan riil masyarakat,
seperti partai politik (political party), kelmpok kepentingan (interest
group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political
communication media), dan tokoh politik (political figure). Disebut
sebagai infrastruktur politik karena mereka termasuk pranata sosial dan yang
menjaid konsen masing-masing kelompok adalah kepentingan kelompok mereka
masing-masing.
Sedangkan suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin
politik formal di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan
politik pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan
lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga
yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada
umunya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksana
undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang
mengadili pelanggaran undang-undang), dengan sistem pembagian kekuasaaan atau
pemisahan kekuasaan.
Dalam pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang
seimbang antar komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar lembaga
negara itu pun diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang seimbang antar
lembaga dalam komponen infrastruktur maupun suprasruktur, serta antara
infrastruktur dengan suprastruktur akan menghasilkan suatu keteraturan
kehidupan politik dalam sebuah negara. Namun tetap saja, penyimpangan dan
permasalahan itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan
senantiasa berubah seiring waktu.
Dalam lembaga legiflatif (DPR) misalnya, sebagai lembaga yang
dipilih oleh rakyat, dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa
mungkin harus memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat
pemegang kekuasaan tertinggu dslam negara demokrasi adalah rakyat (kedaulatan
rakyat). Namun dalam pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri
sebagai penyampai aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk
mencapai kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang
kekuasaan dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan
tersebut.
Contoh lain adalah dalam lembaga yudikatif, atau lembaga yang
bertugas mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Hukum di Indonesia
adalah hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Siapa yang punya uang,
tentu akan mengalami hukuman yang ringan meskipun melakukan kesalahan yang besar.
Sebaliknya, apabila tidak punya uang, dia tidak bisa berkutik dengan hukuman
yang dijatuhkan padanya meskipun kesalahan yang dilakukan tergolong ringan.
Bukti bahwa hukum Indonesia bisa dibeli adalah adanya hakim yang tertangkap
akibat menerima suap untuk meringankan kasus yang sedang ia tangani. Atau
contoh lain adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sedang menjalani
hukuman, namun dapat dengan mudah keluar masuk penjara dengan berbagai alasan
atau kepentingan, dan tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh rakyat kecil.
(Dikutip dari http://politik.kompasiana.com/2013/05/11/permasalahan-demokrasi-di-indonesia-559279.html.)
IV.
KESIMPULAN
1.
Ralph
M. Stockdill telah merangkum definisi-definisi ini serta mengatakan bahwa
kepemmpinan melibatkan proses kelompok, pengaruh kepribadian, seni meminta
kerelaan, penggunaan pengaruh, persuasi, pencapaian tujuan, interaksi,
peran-peran yang diperbdakan, dan pembentukan struktur dalam kelompok-kelompok.
2.
Kepemimpinan
organisasi, menurut definisi, bekerja melalui posisi komunikator alam struktur
sosial yang tegas. Sebaliknya, kata sosiolog Orrin Klapp, “Kepemimpinan
simbolik bekerja pada massa dan khalayak sebelum, tanpa, dan tidak dapat
dihalangi oleh organisasi”. Orang menemukan arti pada kepemimpinan simbolik
yang melontarkan imajinasinya dengan penampilan luar yang memukau dengan
melambangkan gaya hidup yang menarik.
3.
Robert
Salisbury menyamakan ikatan antara pemimpin dan pengikut dengan ikatan antara
pengusaha dan pelanggan. Pemimpin kepentingan yang terorganisasi, misalnya
memberi dorongan untuk menciptakan kelompok dengan menyajikan intensif kepada
orang-orang yang menjadi anggota kelompok, insentif sebagai penukar “biaya”
mereka untuk bergabung dan memberikan dukungan. Keputusan ekspresif melibatkan
kesenangan yang diturunkan dari identifikasi dengan pemimpin, memproyeksikan
kebutuhan bergantung pada pemimpin sebagai simbol kondensasi, atau sekadar
diidentifikasi sebagai pengikut yang setia dan mengabdi.
- Cathy Gormley-Heenan (2001) dalam risetnya, From Protagonist to Pragmatist: Political Leadership in Societies in Transition. Ada sembilan isu kunci yang dijadikan kategori yang mendasari analisis: (1) penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan politik; (2) aktivitas memimpin partai; (3) pemenuhan janji kepada konstituen; (4) pembinaan hubungan dengan partai lain; (5) pelayanan publik; (6) persiapan menghadapi pemilu selanjutnya; (7) pengelolaan dan penataan ulang partai; (8) kesiapan menghadapi perubahan; dan (9) manajemen proses.
- Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi
Politik Pesan dan Efek, PT Remaja Rosdakarya Ofsset, Bandung : 2000.
http://www.p2d.org/index.php/kon/53-32-juli-2011/278-kualitas-kepemimpinan-politik-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar