Agama Punya Seribu Nyawa
Judul :
Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis :
Komarudin Hidayat
Penerbit :
Noura Books
Tahun Terbit :
Cetakan 1, April 2012
Tebal :
281 Halaman
Presentator :
Muh. Dwi Ari Purwa*
Pada mulanya, kita secara umum mengenal dan memeluk
agama karena pengaruh lingkungan keluarga dan tradisi yang mapan dalam
masyarakat. Setelah melalui proses belajar, pergaulan, dan bertambahnya usia,
seseorang tentunya akan memiliki alasan dan penjelasan lebih rasional mengapa
memeluk agama, meskipun tidak semua keyakinan dan pengalaman beragama bias
dijelaskan secara logis-rasional. Hal ini dikarenakan terkadang banyak dari
kita yang menjalani laku kehidupan beragama berdasarkan rasa (dzauq), ketimbang pertimbangan rasional.
Dalam buku ini pun juga diterangkan mengenai dalam
setiap agama ada pandangan dan mazhab yang berbeda. Namun, keragaman mazhab di
dalam agama merupakan keniscayaan yang mestinya kita syukuri. Ragam agama dan
mazhab itu bagaikan ratusan sungai yang mengalir dari berbagai arah melewati daratan,
lembah, dan pegunungan yang berbeda-beda. Dimana tentunya tiap-tiap sungai
tersebut memiliki nama, panjang dan kedalaman yang berbeda-beda namun bermuara
pada satu tujuan, yakni samudra. Bahkan setiap sungai pun memiliki jenis virus
dan sampah yang berbeda-beda tetapi samudera tak pernah menolak kehadiran
sungai-sungai tersebut. Bahkan, berbagai virus dan sampah yang datang dari
sungai-sungai tersebut pun dinetralisir dan dihempaskan ke daratan.
Bahkan, di dalam buku ini pun menceritakan tentang
peristiwa Al-Qur’an sebagai kitab umat muslim yang turun ke bumi yang disebut
sebagai peringatan Nuzulul Qur’an yang diperingati setiap ramadhan. Di sini,
penulis memaparkan bahwa peristiwa tersebut sulit sekali dijelaskan dengan akal
sehat karena tidak mungkin Al-Qur’an turun ke bumi seperti turunnya hujan dari
langit karena langit itu bermakna banyak, dan hanya sebagian kecil saja dari
miliaran planet yang mengapung di alam semesta. Dan peristiwa tersebut hanya
dialami oleh Nabi Muhammad. Saw dan mirip dengan Isra’ Mi’raj dimana para
sahabat tidak ikut di dalamnya. Tujuan dari peringatan Nuzulul Qur’an itu
sendiri adalah agar pesan yang disampaikan melalui petunjuk dari Al-Qur’an bias
direnungkan, difahami, dinalar, kemudian menjadi keyakinan serta membuahkan
perbuatan amal baik dan amal saleh pada hati dan pikiran setiap manusia.
Dalam dunia tasawuf dikenal istilah manunggaling kawula lan gusti, yang
berarti suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan
tuhan sehingga merasa lebur dan menyatu dengan-Nya ibarat meleburnya gula
dengan air di antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Logika ini juga dikenal
dalam teori kepemimpinan Jawa bahwa pemerintahan akan menjadi baik, tenteram,
makmur kalau hati penguasa dan rakyat telah menyatu dan berada dalam gelombang
yang sama. Dalam era demokarasi, formula yang lebih tepat adalah manunggaling kawula gusti, bukan kawula lan gusti, dimana di sini yang
lebih aktif adalah pihak penguasa yang mampu menyelami, memahami, dan memahami
apa yang dirasakan oleh rakyatnya.
Penulis ini pun juga memaparkan tentang membahas
problem ketuhanan ketika dalam suatu forum dialog antar umat beragama dengan
membagi tiga pertanyaan. Pertama, apakah Tuhan yang kita imani dan kita sembah
itu sama atau berbeda. Kedua, bumi yang kita tempati dan matahari yang
memancarkan cahaya itu milik Tuhan siapa? Ketiga, Mengingat setiap umat
beragama meyakini dan mengharapkan nantinya masuk surga, apakah setiap agama
memiliki surge dan neraka masing-masing atau keduanya itu hanya utuk semua
manusia? Dan ternyata setelah terkumpul jawaban mereka cukup beragam antara
pertanyaan pertama, kedua, dan ketiga dari sekitar dua ratus peserta yang
secara mayoritas beragama Islam.
Kemudian, penulis membahas problem di atas dilihat
dari analisis psikologi beragama, bahwa bagaimana pandangan dan sikap seseorang
terhadap orang lain yang berkeyakinan berbeda. Maka dari itu, penulis
berkesimpulan, mengapa ada seseorang yang begitu ramah dan toleran dalam
beragama, dan mengapa ada ada orang yang beragama serta bertuhan dengan mudah
marah melihat orang yang berbeda agama, bahkan mengganggapnya sebagai musuh
yang mesti dihancurkan, padahal mereka tidak saling kenal dan tidak mengganggu
dalam kehidupan sosialnya.
Menurut Mahmud Jabiry, ada tiga ideology yang
menjadi sumber dinamika sejarah Islam, yaitu kabilah, ghanimah, dan akidah.
Sejak masa pra-Islam hingga kini, semangat ideologi, identitas kabilah, suku
dan etnis masih kental dan memiliki peran signifikan dalam dinamika sosial
dunia Islam. Ada pandangan, kehadiran Islam seharusnya menghilangkan ideologi
kabilahisme, dan semua Muslim menjadi suatu komunitas seiman yang disebut Ummah. Arti kata ghanimah adalah harta pampasan, keuntungan dan peperangan. Dalam
sejarah Islam, mereka yang ikut berperang tidak semuanya dimotivasi agama, tetapi ada
yang karena menginginkan harta pampasan. Bahkan, godaan untuk mengumpulkan ghanimah ini pernah terjadi semasa
Rasulullah dalam perang Uhud sehingga tentara Islam kalah perang karena
beberapa pos strategis untuk menghadang musuh ditinggalkan, demi berebut harta
pampasan.
Perpaduan spirit membela kabilah dan mengejar ghanimah, dibalut dengan misi keagamaan
(akidah), juga secara nyata ditunjukkan oleh imperialisme dan kapitalisme Barat
pada abad lalu yang memperluas daerah koloni sambil menyebarkan agama. Namun,
yang kini cukup menonjol adalah motivasi ghanimah
dan samar-samar didukung sentiment nasionalisme (neo-kabilah) dan keyakinan
agama (akidah).
Si penulis
pun juga menjelaskan tentang skeptisme terhadap agama dimana di Indonesia ada
yang membuat perbedaan tegas antara agama dari Tuhan melalui Rasul-Nya dimana
pesan illahi itu kemudian diabadikan ke dalam kitab suci. Sementara itu, yang
kedua tidak mengenal konsep ketuhana dan kerasulan sama sekali. Kemudian, si
penulis menjumpai kalangan kota yang tertarik belajar Islam karena merasa
kecewa melihat materi dan metode dakwah yang dirasakan kurang tepat bagi
kalangan intelektual yang menjalani lingtas agama. Agama kemudian menjadi
pemisah dan sumber kecurigaan serta persaingan yang tidak sehat dalam kutur
sebuah perusahaan dan perkantoran yang mengakibatkan terkikisnya
profesionalitas dan produktivitas kerja serta menciptakan suasana yang tidak
sehat. Seharusnya, agama menjadi pendorong untuk berlomba dalam berprestasi,
sebagai tali pengikat persahabatan yang saling menghargai perbedaan, bukan
penyebar suasana pengap, ruwet, curiga, dan saling gertak.
Di akhir kalimat, penulis menceritakan tentang agama
yang tidak akan pernah mati dan tak pernah hilang dari zaman ke zaman dengan
berbagai cara dan ragamnya. Apalagi para pemikir modern memperkirakan bahwa
agama akan mati dengan sendirinya, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) sudah maju. Karena, mereka beranggapan bahwa ketika persoalan hidup
bisa dijawab dan diselesaikan dengan IPTEK, Tuhan tak lagi diperlukan. Tetapi,
ramalan itu meleset, hingga muncul ungkapan agama memiliki seribu, sejuta
nyawa, bahkan nyawanya pun tidak terbatas. Hal ini disebabkan pada
kenyataannya, begitu banyak persoalan hidup yang tidak bisa dijawab oleh IPTEK
modern. Bila keadaan demikian, maka manusia lari berbondong-bondong mencari
agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar