Jumat, 14 Juni 2013

makalah kompol


I.                  LATAR BELAKANG
Salah satu ciri komunikasi ialah, bahwa orang jarang dapat menghindari dari keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum, karena itu, kita semua adalah komunitor. Begitu pula siapapun yang dalam setting politik adalah komunikator politik. Hal ini membentang dari tukang yang mengganggur yang sedang berdiri di dalam antrian untuk mendapat kupon makanan dan mengeluh bahwa “Presiden menghilangkan pekerjaannya dengan menutup pelataran angkatan laut” sampai Presiden sendiri yang menyesali keadaan ekonomi. Proses opini-komunikasi begitu serba mencakup sehingga setiap orang di antara kita sekurang-kurangnya memiliki potensi untuk menjadi komunikator politik.
Meskipun mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya secara tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik; mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat (Nimmo dan Jalaluddin Rahmat 28 : 2000). Dalam menandai satu jenis komunikator politik sebagai pemuka pendapat kita perlu ingat akan hubungan antara komunikasi dan kepemimpinan politik. (Nimmo dan Jalaluddin Rahmat 38: 2000)
II.               PERMASALAHAN
Beberapa pembahasan dalam makalah tersebut adalah :
1.      Definisi dan Karakteristik Kepemimpinan Politik.
2.      Pemimpin Organisasi dan Pemimpin Simbolik dalam Politik
3.      Ikatan Komunikasi di antara Pemimpin dan Pengikut
4.      Kepemimpinan Politik dalam Demokrasi Indonesia
5.      Persoalan-persoalan Kepemimpinan Politik yang Terjadi di Indonesia

III.           PEMBAHASAN
1.      Definisi dan Karakteristik Kepemimpinan Politik
Ralph M. Stockdill telah merangkum definisi-definisi ini serta mengatakan bahwa kepemmpinan melibatkan proses kelompok, pengaruh kepribadian, seni meminta kerelaan, penggunaan pengaruh, persuasi, pencapaian tujuan, interaksi, peran-peran yang diperbdakan, dan pembentukan struktur dalam kelompok-kelompok. Selain definisi kepemimpinan yang banyak itu ada beberapa teori mengenai kepemimpinan. Namun, ada empat yang mendominasi kepustakaan. Yang pertama berpendapat bahwa pemimpin berbeda dari massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau sifat tersendiri yang sangat dihargai. Semua jenis pemimpin di dalam segala macam setting dan budaya memiliki sifat tersendiri ini. Variasi kedua ialah bahwa ada tiga jenis pemimpin yang keranjingan sifat-sifat tertentu yang membuatnya tersendiri: manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan nilai-nilai baru  bagi suatu bangsa, pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan yang besar dan mulia, pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mendominasi pangeran-pangeran lainnya.
Kesulitan teori sifat ini hanyalah bahwapara sarjana belum dapat menemukan sifat tersendiiri tunggal, atau bahkan sejumlah terbatas sifat yang membedakan, yang dimiliki oleh semua pemimpin di manapun. Hal ini membawa kita pada pandangan kedua, yakni teori konstelasi sifat. Dalam teori ini pemimpin memiliki sifat-sifat yang sama yang dimiliki oleh siapa pun, tetapi memadukan sifat-sifat ini dalam suatu sindrom kepemimpinan yang membedakannya dari orang lain. Oleh sebab itu, misalnya pemimpin itu bisa menonjolkan karena lebih tinggi, lebih besar, lebih bersemangat, lebih intelijen, percaya diri, tenang, dan sebagainya. Dalam meninjau beraneka studi kepemimpinan ini, Stogdill mengamati bahwa para pemimpin memang memiliki beberapa sifat yang derajatnya sedikit lebih tinggi daripada bukan pemimpin. Namun, ia menyimpulkan bahwa hal ini hanya menunjukkan bahwa kepribadian adalah salah satu faktor dalam pembedaan kepemimpinan; adanya sindrom itu tidak menjamin peran pemimpin bagi seseorang, begitu pula tidak adanya sindrom tersebut tidak menyebabkan seseorang tidak cocok untuk menjadi pemimpin.
Para peneliti kepemimpinan telah menjawab pendekatan sifat kepada penetapan pemimpin dengan teori ketiga, yakni teori situasionalis. Teori ini hanya berpendapat bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa yang memimpin, siapa pengikut. Pengkritik aliran situasional, bagaimanapun, menunjukkan bahwa teori itu tidak mampu menerangkan beragamnya tipe pemimpin yang muncul dalam situasi yang berbeda atau mengapa dalam beberapa setting tidak dapat diidentifikasi pemimpin yang dapat dilihat. Teori keempat yang pada zamannya  diterima secara luas ialah bahwa kepemimpinan merefleksikan interaksi kepribadian para pemimpin dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikut, karakteristik dan tugas kelompoknya, dan situasi. Jadi, ia berusaha menerangkan berbagai faktor yang pada umumnya bertalian dengan pendefinisan kepemimpinan (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 39-40 : 2000).
   
2.      Pemimpin Organisasi dan Pemimpin Simbolik dalam Pemimpin
Bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik, ia harus berperilaku sebagaimana yang diharapakan yang diharapkan orang dari pemimpin; pengikut mengaitkan kepemimpinan dengan orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang apa pemimpin itu. Beberapa komunikator merupakan pemimpin karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial atau kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Di luar organisasi mungkin mereka tidak banyak bagi orang. Komunikator seperti itu kita sebut pemimpin organisasi. Namun, komunikator yang lain tidak menduduki posisi demikian, mereka berarti bagi orang karena alasan di luar peran keorganisasian. Komuikator politik yang merupakan pemimpin karena arti yang ditemukan orang di dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian, tokoh yang ternama, dan sebagainya, kita beri nama pemimpin simbolik.
Jelas bahawa sebagian besar dari politikus, komunikator profesional, dan aktivis politik adalah pemimpin organisasi. Pejabat terpilih, ditunjuk, atau karier mempunyai posisi formal kepemimpinan di dalam jaringan komunikasi yang terorganisasi yang membentuk pemerintah. Komunikator profesional sering merupakan karyawan organisasi, yaitu wartawan yang bekerja pada pelayanan kawat, koran, jaringan televisi, atau organisasi berita yang lain, dan promotor sebagai anggota organisasi memublikasikan kepentingan perusahaan, jawatan pemerintah, kandidat atau partai politik. Jurubicara sebagai komunikator aktivis adalah hampir secara harfiah, pembela organisasi. Dari komunikator politik utama yang dilukiskan lebih dulu, hanya pemuka pendapat yang bekerja melalui keakraban yang disediakan oleh jaringan komunikasi interpersonal berada terutama di luar struktur organisasi yang diformalkan (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 47: 2000). 
Kepemimpinan organisasi, menurut definisi, bekerja melalui posisi komunikator alam struktur sosial yang tegas. Sebaliknya, kata sosiolog Orrin Klapp, “Kepemimpinan simbolik bekerja pada massa dan khalayak sebelum, tanpa, dan tidak dapat dihalangi oleh organisasi”. Orang menemukan arti pada kepemimpinan simbolik yang melontarkan imajinasinya dengan penampilan luar yang memukau dengan melambangkan gaya hidup yang menarik. “Teori kepemimpinan simbolik ialah kepemimpinan yang diturunkan dari makna, dan makna selalu tidak inheren. Jika seseorang membuat kesan yang benar, dan tidak menyangkalnya. Secara terang-terangan, ia dapat menjadi simbol hampair apa saja yang disukainya (atau yang disukai oleh nasibnya) (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 48:2000).
Untuk lebih menjelaskan perbedaan di antara pemimpin organisasi dan pemimpin simbolik, dan juga untuk mengesankan sumber-sumber kepemimpinan simbolik, ada gunanya meneliti dua cara yang digunakan oleh para teoris ketika mencoba menjawab pertanyaan yang sudah sangat tua. Satu pandangan ialah bagaimana masyarakat muncul dan berlanjut melalui perantara Kontrol sosial-organisasi, lembaga pendidikan, pemerintah yang membuat aturan dan hukum, dan sebagainya. Perantara yang berorientasikan tugas ini adalah habitat para pemimpin organisasi.
Ketika orang-orang membuat pilihan atau pilihan-pilihan yang sama, ini adalah gejala seleksi konvergen, faktor yang mendasari penciptaan dan penciptaan kembali tatanan sosial. Dalam konsepsi ini opini publik hanya sebagai konsensus dari opini massa, produk independen yang dengan bebas mencapai pilihan-pilihan pribadi; Setiap orang dipengaruhi oleh iklan yang mempengaruhi perseorangan yang menjadi konsumen media massa, bukan oleh propaganda yang mencapainya konsumen media massa, bukan oleh propaganda yang mencapainya sebagai anggota kelompok sosial. Komunikasi kurang berorientasikan tugas, tetapi lebih diarahkan untuk menciptakan ikatan-ikatan emosional, dan melalui ikatan-ikatan itu diarahkan kepada kelompok-kelompok sosial orang-orang yang tadinya terasing satu sama lain di dalam massa. (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 48-49 : 2000).
Dalam satu hal kepemimpinan organisasi bahkan memberikan pendorong bagi bagi komunikator politik untuk menjadi pemimpin politik. Karena organisasi memolakan komunikasi, ia membatasi kebebasan bergerak dengan rantai  komando, membatasi informasi yang dipublikasikan, dan sebagainya. Untuk menerobos keluar dari organisasi kadang-kadang pemimpin mengambil sikap komunikasi yang memberikan status orang termasyhur dan menciptakan simbol sambutan yang meluas. Kepemimpinan simbolik menyoroti tindakan saling memengaruhi yang penting di antara apa yang oleh para pengikut diharapkan menurut citra mereka tentang pemimpin yang bercita-cita tinggi. Ini hanyalah satu unsur dalam segi penting yang lain lagi dari peran komunikator sebagai pemimpin, yakni ikatan di antara dan pengikut. (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 49-50 : 2000).
3.      Ikatan Komunikasi di antara Pemimpin dan Pengikut
Kepemimpinan dan kepengikutan adalah cara komplementer untuk meninjau suatu transaksi tunggal: kita tidak dapat membayangkan pemimpin tanpa pengikut, begitu pula pengikut tanpa pemimpin. Kedua istilah ini mengingatkan kita bahwa orang-orang dalam peran yang saling tukar menurunkan hal-hal yang berbeda dari kepemimpinan mereka yang timbal balik; misalnya, untuk memperoleh dukungan rakyat, pemimpin memersonifikasikan dan mengongretkan proses-proses yang abstrak itu bagi para pengikut dan mmemberikan kepada mereka ketenangan emosional dalam situasi-situasi yang asing dan memprihatinkan. Jenis kepuasan apa yang diperoleh pemimpin dan pengikut dari transaksi yang memperkuat ikatan di antara mereka?
Bagi para pemimpin ada beberapa ganjaran seperti itu. Misalnya, pemimpin mempunyai peluang yang lebih besar untuk “menguasai keadaan”  dan untuk mengendalikan nasibnya. Lebih dari itu, ada sesuatu yang menarik dalam kemampuan mempengaruhi orang lain, menegaskan kekuasaan di dalam kelompok, dan bahkan memberikan keuntungan dan kerugian. Pemimpin organisasi biasanya menduduki posisi dengan gaji yang menarik;  pemimpin simbolik sering mendapat bantuan keuangan dari pendukung yang kaya. Apalagi, ada keuntungan yang meningkat karena memiliki status yang lebih tinggi, baik dalam arti bahwa anggota-anggota kelompok menaruh rasa hormat kepada pemimpin mereka maupun dalam arti bahwa pemimpin itu menguasai cukup sumber nafkah melalui dukungan para pengikutnya umtuk berunding sebagai yang setara dengan, atau bahkan lebih tinggi dari pemimpin kelompok lain.
Robert Salisbury menyamakan ikatan antara pemimpin dan pengikut dengan ikatan antara pengusaha dan pelanggan. Pemimpin kepentingan yang terorganisasi, misalnya memberi dorongan untuk menciptakan kelompok dengan menyajikan intensif kepada orang-orang yang menjadi anggota kelompok, insentif sebagai penukar “biaya” mereka untuk bergabung dan memberikan dukungan. Keputusan ekspresif melibatkan kesenangan yang diturunkan dari identifikasi dengan pemimpin, memproyeksikan kebutuhan bergantung pada pemimpin sebagai simbol kondensasi, atau sekadar diidentifikasi sebagai pengikut yang setia dan mengabdi.
Jika dirangkum, terdapat ikatan di antara pemimpin dan pengikut yang ditempa oleh kepuasan material, sosial, dan emosional yang diturunkan orang dari keikutsertaan dalam politik. Kepuasan ini, terutama yang kurang berwujud, yaitu sosioemosional, muncul di dalam dan melalui proses komunikasi. Komunikasi menciptakan, mendorong, atau menghancurkan rasa solidaritas di antara orang-orang dan rasa puas pribadi dalam mengungkapkan harapan dan cita-cita, ketakutan dan kegelisahan orang. Kemudian, sampai taraf yang sangat luas, ikatan antara pemimpin dan pengikut adalah ikatan komunikasi. Oleh sebab itu, komunikator politik utama memainkan peran strategis, bertindak sebagai pemimpin politik dengan menyiarkan pesan-pesan yang oleh para pengikut dianggap berarti dan memuaskan. Satu ukuran bagi arti dan kepuasan itu berupa pandangan bukan pemimpin terhadap pemimpin. (Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, 49-51: 2000).
  
4.      Kepemimpinan Politik dalam Demokrasi Indonesia
Untuk menganalisis kepemimpinan politik Indonesia, di sini digunakan kerangka pemikiran dari Cathy Gormley-Heenan (2001) dalam risetnya, From Protagonist to Pragmatist: Political Leadership in Societies in Transition. Ada sembilan isu kunci yang dijadikan kategori yang mendasari analisis: (1) penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan politik; (2) aktivitas memimpin partai; (3) pemenuhan janji kepada konstituen; (4) pembinaan hubungan dengan partai lain; (5) pelayanan publik; (6) persiapan menghadapi pemilu selanjutnya; (7) pengelolaan dan penataan ulang partai; (8) kesiapan menghadapi perubahan; dan (9) manajemen proses.
Gormley-Heenan menggunakan kerangka pemikiran ini untuk menganalisis negara-negara yang sedang mengalami konflik atau yang sedang berada dalam transisi. Indonesia, yang masih dalam masa transisi dari negara otoriter ke negara demokrasi, cukup sering dilanda konflik horisontal. Oleh karena itu, kerangka pemikiran ini cocok juga digunakan untuk menganalisis Indonesia.
Penggunaan dan Penyalahgunaan Kekuasaan Politik
Penggunaan kekuasaan politik dan sensitivitas terhadap hal-hal yang terkait dengan penggunaan kekuasaan penting dalam kepemimpinan politik. Jika pemimpin kurang sensitif terhadap isu-isu terkait dengan penggunaan kekuasaan dan hanya bertindak berdasarkan kepentingan satu atau beberapa kelompok, maka kepemimpinannya tidak akan berefek signifikan terhadap perbaikan dan perubahan negara yang positif.
Kita saksikan belakangan ini ada kecenderungan kepemimpinan politik Indonesia sering menampilkan tindakan yang dipersepsi lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu ketimbang kepentingan rakyat. Selain kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang sudah diproses secara hukum, masih banyak ditemukan indikasi penyalahgunaan yang diberitakan di media massa dan diulas di forum-forum diskusi. Dari situ, tampak sensitivitas pemimpin politik Indonesia masih rendah. Kepemimpinan politik Indonesia masih rawan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara penggunaan kekuasaan yang diarahkan kepada perbaikan kondisi masyarakat Indonesia masih terus ditagih karena pelaksanaannya tampak setengah hati.
Aktivitas Memimpin Partai
Keterampilan kepemimpinan dibutuhkan juga untuk mengelola partai. Banyak persoalan yang menghambat dan merugikan negara berasal dari perilaku orang-orang partai yang memegang kekuasaaan baik eksekutif maupun legislatif. Persoalan-persoalan itu semestinya dapat dicegah atau ditangani secara cepat oleh pemimpin politik dari partai-partai itu agar tidak mengganggu kinerja kepemimpinan nasional. Negosiasi, konsesi dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat oleh para pemimpin politik di dalam partainya sehingga tidak mengganggu kinerja kepemimpinan politik dalam mengelola negara.
Kita bisa saksikan kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit-elit partai, baik yang memegang jabatan di pemerintahan maupun yang hanya menjabat di partai. Selain itu konflik dalam partai marak diberitakan oleh media massa. Contohnya, Partai Demokrat saat ini sedang mengalaminya meski berkali-kali dinyatakan oleh beberapa pengurusnya bahwa mereka masih solid. Tetapi secara intuitif kita dapat menyaksikan konflik itu ada. Pemimpin politik Indonesia tampaknya masih belum mampu memimpin partainya untuk tetap solid dan menghindarkan kepemimpinannya dari kepusingan dan kebingungan yang menguras waktu, tenaga dan pikiran untuk mengatasi masalah-masalah dalam partainya.
Pemenuhan Janji kepada Konstituen
Pemenuhan janji kepada konstituen merupakan satu indikator dari efektivitas kepemimpinan politik. Selain keterampilan kepemimpinan untuk mengelola partai, pembinaan hubungan baik dengan konstituen menjadi kunci keberhasilan kepemimpinan politik. Kemampuan untuk mengelola dan memenuhi janji kepada konstituen memungkinkan pemimpin politik untuk dapat bekerja efektif. Sebaliknya, jika pemimpin politik tak dapat membina hubungan baik dengan konstituen, maka kepemimpinan politik akan berlangsung tanpa dukungan mereka sehingga bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan tidak dapat berjalan baik. Kepemimpinan politik akhirnya menjadi kepemimpinan tanpa mandat.
Seperti sudah jadi pengetahuan umum di Indonesia, setelah pemilu, konstituen seakan tak diperlukan lagi. Janji-janji orang yang kemudian terpilih jadi pemimpin politik seperti tak diingat lagi. Pemenuhan janji tampaknya bukan hal yang penting bagi mereka. Kepemimpinan politik Indonesia kebanyakan berjalan seperti tanpa mandat dan para pemimpin pun tampak merasa tak perlu mempertanggungjawabkan mandat dari konstituen yang diembannya.
Pembinaan Hubungan dengan Partai Lain
Membina hubungan baik dengan partai lain menjadi hal yang niscaya meski sulit dilakukan, apalagi jika partai lain sejak awal memutuskan untuk menjadi oposisi. Pertentangan dengan partai lain yang intens dan berkepanjangan akan menguras tenaga dan menghambat jalannya pemerintahan. Tetapi, pembinaan hubungan itu jangan sampai melulu mengurusi pembagian kekuasaan. Kerjasama antarpartai harus diarahkan kepada usaha penerapan kebijakan dan pelaksanaan program untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Kita tahu ada pembinaan hubungan antarpartai seperti yang ditampilkan dalam bentuk Sekretariat Gabungan. Tetapi kita juga menyaksikan partai-partai itu seringkali tidak harmonis, bahkan saling mengancam, saling menyandera dan saling memaksakan kepentingan masing-masing. Hubungan antarpartai tampaknya baru sampai urusan pembagian kekuasaan, berapa menteri dari partai anu, berapa banyak yang akan diperoleh partai lainnya. Itu pun masih banyak terjadi konflik kepentingan yang menguras banyak waktu, tenaga, pikirn dan biaya sehingga kinerja kepemimpinan politik Indonesia tak efektif.
Melaksanakan Pelayanan Publik
Pembinaan hubungan antara pemimpin politik dan para aparat negara yang bertugas menjalankan pelayanan terhadap masyarakat merupakan satu kunci penting dalam kepemimpinan politik. Pemimpin politik harus dapat menjamin terlaksananya pelayanan publik, bekerjanya setiap sektor untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, mengembangkan masyarakat. Kepemimpinan politik yang buruk bukan hanya membuat kinerja pelayanan publik tidak efektif, melainkan juga melemahkan mentalitas dan moralitas para petugas pelayanan publik.
Pelayanan publik di Indonesia masih tergolong buruk meski sudah ada beberapa perbaikan, seperti kartu miskin yang memperingan biaya kesehatan dan pendidikan. Secara umum pelayanan publik di Indonesia masih jauh di bawah standar kelayakan. Sarana transportasi, bahkan di kota besar sekalipun, masih minimal. Pelayanan kesehatan dan penyediaan pangan dan perumahan rakyat juga demikian. Berbagai macam urusan yang memerlukan persetujuan aparat pemerintah masih berlangsung lambat. Penerapan dan penanganan hukum masih diskriminatif. Praktek pungutan liar, sogok-menyogok dan suap masih berlangsung. Kepemimpinan politik Indonesia belum dapat melaksanakan pelayanan publik secara memadai.
Mempersiapkan Pemilu Selanjutnya
Tantangan-tantangan terhadap kepemimpinan sering muncul berkaitan dengan pemilu selanjutnya. Banyak serangan dan gangguan yang ditujukan kepada pemimpin politik dalam rangka menurunkan popularitasnya sehingga perolehan suarannya menurun di pemilu selanjutnya. Efek dari serangan dan gangguan itu seringkali bukan hanya menurunkan popularitas, melainkan juga melemahkan kinerja kepemimpinan politik sehingga penerapan kebijakan dan pelaksanaan program-program pemerintah tidak berjalan. Pemimpin politik harus memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan-tantangan itu, mengatasi serangan dan gangguan itu secara efektif dan efisien.
Menghadapi Pemilu 2014, partai-partai mapan yang ada di Indonesia sudah mulai saling menyerang dan saling melemahkan. Kepentingan menang pemilu itu bisa berefek kepada kinerja kepemimpinan nasional. Isu-isu seputar siapa yang akan dicalonkan menjadi presiden sudah beredar dan mengusik pemimpin politik Indonesia untuk menanggapinya, bahkan Presiden SBY secara khusus menanggapinya. Meski belum sampai secara langsung mengganggu kinerja kepemimpinan politik Indonesia, isu pemilu yang akan datang sudah mengambil porsi perhatian para pemimpin politik dan bisa jadi mengganggu konsentrasi kerja mereka mengelola negara. Isu-isu kudeta atau pemakjulan bermunculan, meskipun pihak-pihak yang terkait sudah membantahnya. Situasi itu memberikan indikasi bahwa kepemimpinan politik Indonesia belum dapat mengatasi tantangan-tantangan kepemimpinan terkait isu politik secara optimal.
Penataan Ulang Partai
Terpilihnya pemimpin politik (sebagai presiden, gubernur, bupati atau walikota) dari partai tertentu menuntut partainya untuk melakukan penataan ulang partainya untuk menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan situasi politik yang berlangsung setelah itu. Pemimpin politik sebagai kader dari partainya harus memiliki kemampuan menata partainya sesuai dengan kebutuhannya untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin politik. Penataan ulang partai perlu dilakukan untuk kebutuhan dukungan di dewan perwakilan rakyat, pengaturan koalisi, penempatan kader partai dalam pemerintahan, pengelolaan konflik dan sebagainya. Tanpa kemampuan menata ulang partai, kepemimpinan efektif tak bisa dicapai. Kepemimpinan politik nasional harus mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan-kemungkinan penataan ulang partainya.
Terkait dengan belum mampunya pemimpin politik memimpin dan mengelola partainya untuk tetap solid, aktivitas penataan ulang partai politik oleh para pemimpin politik Indonesia pun masih belum optimal. Malah banyak terjadi konflik internal partai. Alih-alih partai menunjang berjalannya kepemimpinan politik Indonesia secara efektif, justru persoalan-persoalan internal partai jadi pengganggu. Urusan internal partai malah menyedot banyak waktu, tenaga, pikiran dan biaya para pemimpin politik Indonesia.
Kesiapan Menghadapi Perubahan
Perubahan politik merupakan satu implikasi dari pergantian kepemimpinan politik nasional, bahkan menjadi tuntutan bagi kepemimpinan politik yang baru. Jika tidak, kepemimpinan itu tidak berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya dan dapat kehilangan mandat dalam memimpin. Perubahan politik selalu mengandung risiko dan pemimpin harus bersiap-siap menanggung risiko itu.
Ada kecenderungan para pemimpin politik Indonesia menghindari perubahan yang signifikan. Mereka tak menampilkan keberanian menghadapi risiko. Mereka cenderung mempertahankan status quo. Dibandingkan dengan kepemimpinan politik terdahulu, tidak ada perubahan berarti yang terjadi. Tak ada program yang sungguh berbeda dan berefek kuat terhadap perbaikan kondisi masyarakat. Meskipun secara makro keadaan ekonomi Indonesia tergolong stabil, bahkan meningkat, tetapi secara umum program-program yang dilaksanakan tak berbeda secara signifikan dengan program-program di periode terdahulu. Malahan, beberapa kebijakan terobosan yang banyak mendapat tanggapan positif ditinjau kembali, seperti wewenang Komite Pemberantasan Korupsi dan wewenang Mahkamah Konstitusi.
Manajemen Proses
Manajemen proses merupakan elemen esensial dalam setiap komitmen keterlibatan dalam jabatan politik. Untuk menjamin tanggung jawab dan mandat dari rakyat dapat terlaksana secara baik, pemimpin politik harus dapat menjaga berjalannya penerapan kebijakan dan pelaksanaan program. Ia harus memahami mekanisme dan aturan dari penerapan kebijakan dan pelaksanaan program, menjaga semua itu agar terus berlangsung, mengendalikan proses ke arah yang direncanakan. Tanpa kemampuan manajemen proses, kepemimpinan politik tak akan berjalan baik.
Kita saksikan banyak program yang tidak berkelanjutan. Kita temukan juga undang-undang yang sudah disahkan dan diundangkan negara tak sungguh-sungguh diterapkan dalam masyarakat, hambatan-hambatan dalam pencairan dana program, lambatnya penanganan-penanganan masalah di dalam dan luar negeri. Masih banyak mekanisme dan aturan penerapan kebijakan dan pelaksanaan program yang belum jelas atau tak tersosialisasi secara baik. Kepemimpinan politik Indonesia masih belum dapat menjaga dan mengendalikan proses pembangunan negara secara optimal. (dikutip dari sumber http://www.p2d.org/index.php/kon/53-32-juli-2011/278-kualitas-kepemimpinan-politik-indonesia.html)

5.      Persoalan-persoalan Kepemimpinan Politik yang Terjadi di Indonesia
Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
Namun sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami penurunan partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang mencapai 96,6 %. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami penurunan, dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai 84,1 % untuk pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu 2009, tingkat partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan 71,7 % untuk Pilpres.
Menurunnya angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan pemilu ini berbanding terbalik dengan angka golput (golongan putih) yang semakin meningkat. Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari masyarakat di tengah pesta demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mewakili masyarakat, baik yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden.
Hak untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak Asasi Manusia yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Tingginya angka golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang memandang bahwa hak asai manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal ini adalah kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang tidak ada aturan atau hukum yang menjerat bagi orang-orang yang tidak turut serta berpartisipasi politik dalam pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka golput terus meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia yang akan semakin tidak berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari para warganya.
Yang kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika politiknya. Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam konteks politik berkaitan erat dengan masyarakat, bangsa dan negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
Masih mengambil contoh yang sama yaitu mengenai pemilihan umum, dimana pemilihan umum yang seharusnya terjadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah pemilihan umum secara langsung dan umum, sera bersifat bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun bagaimanakah etika politik dari para aktor dalam pemilihan umum, khususnya calon pemerintah dan calon wakil rakyat di Indonesia ?
Pemilihan umum di Indonesia merupakan arena pertarungan aktor-aktor yang haus akan popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi pemerintahan di Indonesia adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk memikat hati rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan berbagai janji mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila terpilih dalam pemilu, mereka berjanji untuk mensejahterakan rakyat, meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, dan sebagainya.Tidak hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk mencari popularitas di kalangan rakyat melalui tindakanmoney politics.
Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan melanggar etika politik. Hak pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, namun melalui money politics secara tidak langsung mereka mempengaruhi seseorang dalam penggunaan hak pilihnya. Selain itu, perbuatan para calon petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan mempengaruhi hak pilih seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena jika rakyat yang dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar penilaian yang subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon tersebut. Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak adil bagi calon lain yang menjadi pesaingnya.
Apabila calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah melakukan persaingan tidak sehat tersebut berhasil menduduki jabatan pemerintahan, tentu sangat diragukan apakah ia dapat menjalankan pemerintahan yang bersih atau tidak. Terbukti dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan di Indonesia saat ini, khususnya mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil rakyat, yang terlibat kasus korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang mereka lakukan melalui money politics dimana mereka sudah mengaluarkan begitu banyak dana demi membeli suara rakyat, sehingga ketika mereka berkuasa mereka akan cenderung memanfaatkan kekuasaannya yang antara lain bertujuan untuk mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan tersebut.
Tidak hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil rakyat tersebut juga tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai seseorang yang seharusnya mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi mencapai kesejahteraan rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk membela rakyat yang bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang mereka ungkapkan ketika masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan jatidiri sebagai seorang pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat terhadap mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak anggota DPR yang menginginkan gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana yang mewah yang semuanya itu menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, bahkan untuk sekedar rapat saja mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen, atau mungkin hadir namun tidak berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering diberitakan ada wakil rakyat yang tidur ketika rapat berlangsung.
Terakhir atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang dari segisistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan suprastruktur politik di Indonesia. Infrastruktur politik adalah mesin politik informasl berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik (political party), kelmpok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure). Disebut sebagai infrastruktur politik karena mereka termasuk pranata sosial dan yang menjaid konsen masing-masing kelompok adalah kepentingan kelompok mereka masing-masing.
Sedangkan suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin politik formal di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umunya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (yang mengadili pelanggaran undang-undang), dengan sistem pembagian kekuasaaan atau pemisahan kekuasaan.
Dalam pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang seimbang antar komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar lembaga negara itu pun diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang seimbang antar lembaga dalam komponen infrastruktur maupun suprasruktur, serta antara infrastruktur dengan suprastruktur akan menghasilkan suatu keteraturan kehidupan politik dalam sebuah negara. Namun tetap saja, penyimpangan dan permasalahan itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan senantiasa berubah seiring waktu.
Dalam lembaga legiflatif (DPR) misalnya, sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat, dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa mungkin harus memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat pemegang kekuasaan tertinggu dslam negara demokrasi adalah rakyat (kedaulatan rakyat). Namun dalam pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri sebagai penyampai aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk mencapai kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan tersebut.
Contoh lain adalah dalam lembaga yudikatif, atau lembaga yang bertugas mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Hukum di Indonesia adalah hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Siapa yang punya uang, tentu akan mengalami hukuman yang ringan meskipun melakukan kesalahan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak punya uang, dia tidak bisa berkutik dengan hukuman yang dijatuhkan padanya meskipun kesalahan yang dilakukan tergolong ringan. Bukti bahwa hukum Indonesia bisa dibeli adalah adanya hakim yang tertangkap akibat menerima suap untuk meringankan kasus yang sedang ia tangani. Atau contoh lain adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sedang menjalani hukuman, namun dapat dengan mudah keluar masuk penjara dengan berbagai alasan atau kepentingan, dan tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh rakyat kecil.

IV.           KESIMPULAN
1.      Ralph M. Stockdill telah merangkum definisi-definisi ini serta mengatakan bahwa kepemmpinan melibatkan proses kelompok, pengaruh kepribadian, seni meminta kerelaan, penggunaan pengaruh, persuasi, pencapaian tujuan, interaksi, peran-peran yang diperbdakan, dan pembentukan struktur dalam kelompok-kelompok.
2.      Kepemimpinan organisasi, menurut definisi, bekerja melalui posisi komunikator alam struktur sosial yang tegas. Sebaliknya, kata sosiolog Orrin Klapp, “Kepemimpinan simbolik bekerja pada massa dan khalayak sebelum, tanpa, dan tidak dapat dihalangi oleh organisasi”. Orang menemukan arti pada kepemimpinan simbolik yang melontarkan imajinasinya dengan penampilan luar yang memukau dengan melambangkan gaya hidup yang menarik.
3.      Robert Salisbury menyamakan ikatan antara pemimpin dan pengikut dengan ikatan antara pengusaha dan pelanggan. Pemimpin kepentingan yang terorganisasi, misalnya memberi dorongan untuk menciptakan kelompok dengan menyajikan intensif kepada orang-orang yang menjadi anggota kelompok, insentif sebagai penukar “biaya” mereka untuk bergabung dan memberikan dukungan. Keputusan ekspresif melibatkan kesenangan yang diturunkan dari identifikasi dengan pemimpin, memproyeksikan kebutuhan bergantung pada pemimpin sebagai simbol kondensasi, atau sekadar diidentifikasi sebagai pengikut yang setia dan mengabdi.
  1. Cathy Gormley-Heenan (2001) dalam risetnya, From Protagonist to Pragmatist: Political Leadership in Societies in Transition. Ada sembilan isu kunci yang dijadikan kategori yang mendasari analisis: (1) penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan politik; (2) aktivitas memimpin partai; (3) pemenuhan janji kepada konstituen; (4) pembinaan hubungan dengan partai lain; (5) pelayanan publik; (6) persiapan menghadapi pemilu selanjutnya; (7) pengelolaan dan penataan ulang partai; (8) kesiapan menghadapi perubahan; dan (9) manajemen proses.
  2. Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.
V.               DAFTAR PUSTAKA
·         Nimmo dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Politik Pesan dan Efek, PT Remaja Rosdakarya Ofsset, Bandung : 2000.
http://www.p2d.org/index.php/kon/53-32-juli-2011/278-kualitas-kepemimpinan-politik-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar