Senin, 19 Desember 2011

Hasil Resume Tasawuf Tentang Konsep Akhwal dalam Tasawuf
1.     Al Thuma’ninah
Secara Harfiah, kata ini berarti tenang tenteram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat keberhasilan jiwa yang paling tinggi. Setelah sekian lama ia berjalan, sekian berat perjuangan yang dihadapi, akhirnya sampailah ia ke ujung perjalanan, yaitu ia dapat berkomunikasi secara langsung dengan Allah yang ia cari dan ia rindui. Ia mampu mengadakan dialog secara langsung karena sudah dekat kepada Allah, karena ia merasa tenang, bahagia, dan tenteram.
2.     Musyahadah
Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah, dengan demikian tercapailah musyahadah. Orang yang muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang dirasa dan diingatnya hanya Allah. Dari sisi lain, hal ini menimbulkan istilah pula, yaitu ghaibah yang berarti dapat melupakan segala-galanya kecuali Allah, semua ia lupakan kecuali Allah, apabila situasi ghaibah itu hilang atau ia sadar kembali seperti biasa, maka keadaan itu disebut shahwu. Jadi shahwu adalah sadarnya kembali seseorang yang sudah mencapai ghaibah. Situasi ghaibah yang lain masih ada jenis lain, yaitu apa yang disebut sakar atau mabuk kepayang. Artinya, keadaan di mana seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurah bulat pada yang satu, dan di situlah terjadi musyahadah.
Dalam situasi seperti ini pulalah seseorang memperoleh tingkat ma’rifat, satu situasi di mana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah dengan seluruh ekspresinya atau melalui mata hatinya (vision of the heart).
3.     Al-Yakin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantabnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Mencapai tingkat musyahadah dan al-yakin, menurut pengakuan para sufi amat sulit dan jarang orang yang memperoleh karunia yang semulia itu. Mereka yang sudah menerima karunia Allah seperti itu, adalah para aulia yaitu orang yang sudah sampai ke tingkat Insan Kamil. Seluruh rangkaian upaya untuk merelaisasi tujuan tasawuf itu, oleh Qomar Kaliani disebut TASAWUF AMALI, yaitu tasawuf yang bertipe perbaikan dan peningkatan amal ibadah agar dapat berada sedekat mungkin dengan Allah. Apabila seseorang telah mencapai tingkat tertinggi yang dapat diraih manusia, bukan berarti selesailah mujahadatnya atau tamatlah latihannya. Sebab, karakteristik dari tasawuf sebagai pengalaman spiritual adalah bersifat repetatif, bukan kumulatif, sehingga memerlukan pengulangan yang tiada hentinya sampai ujung usia.
Apabila seseorang berusaha dengan tekun dan berkelanjutan secara berjenjang (al-maqomat), maka akan nampak tanda-tanda sebagai seorang arif atau sufi. Tasnda-tanda itu antara lain, intensitas cahaya ma’rifahnya tidak menganggu kewarakannya; aspek batin dari suatu ilmu dan amal adalah memperkokoh keberadaan aspek lahirnya sehingga satu sama lain saling mengisi dan melengkapi tanpa mengurangi kepentingan yang satu dan lainnya; banyaknya karunia dan nikmat Allah yang dia terima tidak menyebabkan terbebasnya seseorang dari perintah (amar) dan atau larangan (nahi) agama sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Walaupun seorang sufi sudah mencapai tingkat wali atau insan kamil, ia tetap dibebani syari’at.
Referensi : Siregar, H.A. Rivay, TASAWUF: dari Sufsime Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999).[1]
By : Muhammad Dwi Ari Purwa
NIM : 101211069        


[1] Referensi : Siregar, H.A. Rivay, TASAWUF: dari Sufsime Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999) hal 135-139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar