Senin, 27 Mei 2013

Contoh CV



DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.  Data Pribadi
Nama                                   : Muhammad Dwi Ari Purwa
Jenis Kelamin                      : Laki-laki
Tempat dan Tanggal Lahir  : Semarang, 10 Juni 1991
Kewarganegaraan               : Indonesia
Agama                                 : Islam
Status Nikah                        : Belum Kawin
Alamat                                : Jl. Gaharu Timur Dalam VII no 188 Banyumanik, Semarang
II.  Data Pendidikan 
1. Pendidikan Utama
 1997-2003                  : SD N Banyumanik 01-02-11 Banyumanik Semarang
2003-2006                   : SMP Negeri 12 Semarang
2006-2010                   : SMA Assalaam Sukoharjo
2010- Sekarang           : IAIN Walisongo Semarang Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

IV.  Kegemaran – Hobi
a)      Bermain Sepak Bola
b)      Mendengarkan Musik
c)      Bermain Game
Pengalaman Bekerja    : Belum Ada
Demikianlah daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Semarang, 24 Mei 2013


   
Muhammad Dwi Ari Purwa

Maksimalkan Subsidi Pertanian



Maksimalkan Subsidi Pertanian
Dalam sebuah pernyataan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di radio Elshinta akhir tahun 2012 yang lalu. Ketika itu sang presiden ditanyai tentang subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Dan beliau pun menjawab “Ketika subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dihapus, maka harga-harga kebutuhan yang lainnya akan naik. Dan hal itu sangat mencekik rakyat. Pernyataan ini tentulah sangat dangkal. Seolah-olah beban rakyat hanya terfokus pada trasnportasi saja. Ya, memang dengan harga BBM yang naik, tentu beban transportasi akan naik. Namun, beban hidup dapat ditekan dengan menghilangkan belanja kesehatan, memberikan biaya pendidikan gratis bagi para siswa yang tidak mampu dan berprestasi, memberikan transportasi public yang murah dan nyaman, serta mematok harga-harga pertanian yang tidak mencekik rakyat kecil.  
Di Negara berkembang lainnya seperti Thailand, mereka tidak mengandalkan dari subsidi BBM. Bahkan harga bahan bakar minyak, seperti premium dan solar di Negara tersebut mencapai lebih dari 10.000 rupiah per liter. Tetapi, rakyat Thailand tidak protes dengan kebijakan tersebut, karena pemerintah Thailand membayari iuran asuransi kesehatan bagi pekerja informal. Bahkan di Negara tersebut, para petani maupun koperasi petani diberikan pinjaman tanpa bunga oleh pemerintah untuk membeli traktor, bibit unggul, dan kebutuhan pertanian lainnya. Sehingga produk-produk pertanian Thailand membanjiri pasar dunia, termasuk di Negara kita. Tampaknya, kita perlu belajar dari Negeri Gajah Putih tersebut. Apalagi Negara kita adalah Negara agraris dimana sektor utama dari Negara tersebut adalah sector pertanian. Dengan Negara yang memiliki tanah lebih subur, lebih luas wilayahnya, dan lebih banyak penduduknya, seharusnya kita bisa memiliki produk pertanian yang lebih bermutu dan berkualitas dibandingkan dengan Negeri Gajah Putih tersebut. Dan jika saja subsidi BBM yang diterapkan oleh pemerintah diganti dengan subsidi beras, mungkin produk pertanian kita bisa membanjiri pasar dunia. Dan Negara kita bisa menjadi eksportir bahan makanan. Bisa jadi, Negara kita mungkin akan menjadi Negara “swasembada pangan” seperti yang dilakukan pada zaman Soeharto dulu. Wallohu a’lam bis showab.
Muhammad Dwi Ari Purwa
Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Walisongo Semarang angkatan 2010.       

contoh Surat Lamaran Pekerjaan



Semarang, 24 Mei 2013

Kepada YTH. 
HRD Manager
Lembaga Kemanusiaan Nasional PKPU.
Semarang

Dengan hormat,
Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama                                       : Muhammad Dwi Ari Purwa
Tempat, Tanggal Lahir            : Semarang, 10 Juni 1991
Alamat                                    : Jalan Gaharu Timur dalam VII no 188 Srondol Wetan, Banyumanik, Semarang
No. kontak                              : 085727755591
Pendidikan terakhir                 : SMA Assalaam Sukoharjo

Dengan ini mengajukan surat permohonan untuk bekerja di Lembaga Bapak/Ibu sebagai Tenaga Telemarketing.
Saat ini saya memiliki pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berkorelasi dengan pekerjaan terkait, dan memiliki sedikit pengalaman sebagai Tenaga telemarketing. Saya senang untuk belajar, dan dapat bekerja secara mandiri maupun dalam tim dengan baik. Dengan surat permohohan ini, saya menyatakan siap untuk memberikan waktu dan tenaga apabila di perlukan dan besar harapan saya untuk mengikuti tes seleksi dan wawancara. Terima kasih !


Hormat Saya



                                                                                                               Muhammad Dwi Ari Purwa
Lampiran :
  • Daftar riwayat hidup
  • Foto ID (KTP)
  • Foto-copy ijazah terakhir

makalah hukum dan etika media massa



I.                  PENDAHULUAN
Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrument dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Di samping fungsinya sebagai media informasi dan komunikasi, pers juga merupakan refleksi jati diri masyarakat karena apa yang dituangkan di dalam sajian pers hakekatnya adalah denyut nadi kehidupan masyarakat di mana pers berada. Dari tampilan pers itulah sebagian wajah masyarakat, baik tingkat kemajuan maupun taraf berpikirnya dapat dicermati.[1]
Perkembangan media massa di Indonesia dewasa ini berjalan sangat cepat, baik dalam penggunaan teknologi komunikasi maupun penguasaan perangkat lunaknya, sejalan dengan perkembangan media massa di dunia Internasional. Berita yang disiarkan di Eropa atau Amerika Serikat dapat langusng diterima di Indonesia, baik melalui radio, televisi, maupun internet.
Pesatnya perkembangan media massa di Indonesia ini didorong oleh penggunaan teknologi telekomunikasi dan informasi yang terus berkembang. Era dunia maya (internet) telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kecepatan arus informasi yang sangat diperlukan dalam pengembangan media massa.
Aspek lain dalam mempercepat perkembangan media massa di Indonesia adalah dibukanya keran politik untuk media massa, setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Sejak masa Presiden Habibie, Indonesia memasuki era kebebasan pers. Kebebasan ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 yang mengganti UU Pokok Pers No 21 Tahun 1982 di masa Orde Baru. Dengan diberlakukannya UU pers tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi utama di Asia.[2]

II.               PERMASALAHAN
Ada beberapa permasalahan yang diambil pada makalah ini, diantaranya adalah :
1.      Sejarah Media Massa
2.      Perkembangan Hukum Media
3.      Pengertian Pers dan Hakekatnya Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
4.      Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia
5.      Lintasan pers di Indonesia

III.           PEMBAHASAN
1.      Sejarah Media Massa
Media massa yang pertama lahir adalah media cetak. Hal ini sesuai dengan perkembangan teknologi dimana teknologi percetakan lebih dulu lahir dibandingkan dengan teknologi telekomunikasi dan teknologi penyiaran. Pada tahun 1440, Johan Gutenberg seorang bangsa Jerman menemukan alat mesin cetak (metal). Meskipun pada saat itu mesin cetak tersebut juga bisa digunakan untuk mencetak surat kabar, namun surat kabar yang sederhana baru ditemukan di London tahun 1620.
Sebelum ditemukan teknologi telekomunikasi, surat kabar adalah satu-satunya media yang disebut sebagai pers (press). Teknologi telekomunikasi pertama lahir tahun 1844 ketika Samuel Morse mengirimkan pesan melalui alat telegraph yang pertama dari Washington DC ke Baltimore, 24 Maret 1844. Dengan ditemukannya telegram ini maka berkembang istilah komunikasi yang memiliki arti berbeda dengan transportasi. Sebelum ditemukan teknologi telegram, kata “transportasi” memiliki dua makna sekaligus yaitu pengiriman barang melalui kendaraan pengangkut barang/manusia dan pengiriman pesan komunikasi dalam arti yang sekarang. Penemuan ini kemudian disusul oleh Graham Bell, yang pada tahun 1876 untuk pertama kalinya mengirim pesan melalui pesawat telepon dengan kabel.
Tidak lama kemudian ahli fisika Jerman Heinrich Rudolp Hertz menemukan bahwa energy dapat dikirim tanpa melalui kabel. Nama Hertz kemudian diabadikan dalam satuan gelombang radio. Pada saat yang bersamaan, di Italia seorang anak muda masih berumur 21 tahun bernama Guglielmo Marconi menemukan pula teknologi radio. Namun, di Italia, Marconi tidak diakui, ia lalu pergi ke Inggris dan mendirikan usaha Wireless Telegraph Signal Company tahun 1896. Lima tahun kemudian signal Marconi bisa menjangkau benua Amerika.
Dengan berkembangnya teknologi radio, maka bermunculanlah sejumlah radio amatir yang begitu banyak sejumlah radio amatir yang begitu banyak banyak bak jamur di musim hujan. Akibatnya frekuensi gelombang radio milik Angkatan Laut AS sering bertabrakan dengan radio amatir. Pemerintah AS kemudian turun tangan dan membuat peraturan baru bernama radio act 1912. Undang-undang ini antara lain mengatur bahwa para penyelenggara radio harus memiliki izin sebelum siaran, penggunaan frekuensi harus diawasi dan penggunaannya harus dengan izin teknis, Presiden AS memiliki wewenang untuk menutup stasiun radio.
Setelah Perang Dunia I jumlah stasiun radio di AS makin membengkak tak terkendali. Tahun 1924 sudah terdapat 5.000 stasiun radio. Radio yang sudah menjadi usaha bisnis itu berlomba-lomba merebut pendengar dengan berbagai cara. Bahkan pernah terjadi sebuah misa gereja disiarkan oleh lebih dari satu pemancar radio dan dua gelombang radio diantaranya saling bertabrakan untuk memperebutkan pendengar yang sama. Keadaan inilah yang kemudian mendorong dilakukannya revisi terhadap Radio Act 1912 dan kemudian keluarlah Radio Act 1927pemancar radio dan dua gelombang radio diantaranya saling bertabrakan untuk memperebutkan pendengar yang sama. Keadaan inilah yang kemudian mendorong dilakukannya revisi terhadap Radio Act 1912 dan kemudian keluarlah Radio Act 1927. Dalam UU yang baru  itu terdapat beberapa ketentuan baru, diantaranya : gelombang frekuensi dinyatakan sebagai sumber daya alam yang harus dilindungi dan dijaga. Radio Act 1927 juga membentuk Federal Radio Commission (FRC) yang memiliki wewenang membuat peraturan bidang ke-radioan, membuat klasifikasi radio, merumuskan banyak acara dan mengawasi penggunaan frekuensi.
FRC kemudian diubah menjadi Federal Communication Commission (FCC) berdasarkan Communication Act 1934. FCC bertugas untuk mengatur tentang komunikasi secara luas, tidak hanya radio. FCC kemudian menjadi model lembaga regulasi penyiaran di dunia, termasuk menjadi salah satu acuan ketika Indonesia, sekitar 70 tahun kemudian merumuskan sebuah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2002.
2.      Perkembangan Hukum Media
Hukum pers yang berkembang di Indonesia dari masa Hindia Belanda sampai masa reformasi adalah hokum pers cetak Sedikit sekali disinggung mengenai hokum pers penyiaran. Ada beberapa penyebab mengapa terjadi ketimpangan atau ketertinggalan dunia penyiaran dibandingkan dengan dunia jurnalistik cetak. Pertama, pers lahir lebih dahulu daripada pers penyiaran, karena lembaga pers cetak memang labih dahulu lahir daripada lembaga penyiaran. Hal ini bukan merupakan kasus istimewa bagi Indonesia, karena perkembangan teknologi penyiaran memang baru ditemukan sekitar 4 abad setelah teknologi cetak.
Kedua, sejak masa kemerdekaan, media penyiaran di Indonesia berpuluh-puluh tahun dikuasai oleh pemerintah, sehingga pers penyiaran juga merupakan pers pemerintah. Pers penyiaran yang berorientasi kepada pemerintah tidak menimbulkan persoalan hokum dan politik dengan pemerintah. Sebaliknya pers cetak memiliki banyak persoalan hokum dan politik dalam berhadapan dengan pemerintah. Karena itu, pers cetak memerlukan semacam “perlindungan hokum” yang lebih pasti. Dengan kata lain, media cetak berada pada lorong yang penuh resiko berhadapan dengan pemerintah maupun masyarakat, sementara media penyiaran berada pada lorong yang tidak berhadapan dengan keduanya.[3]
3.      Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari kata persen Belanda, pressInggris, yang berarti  “menekan” yang merujuk pada alat cetak kuno yang digunakan dengan menekan secara keras untuk menghasilkan  karya cetak pada lembaran kertas.
Beberapa pengertian pers :
Menurut Para Ahli :
Rifhi Siddiq 
Pers adalah sebuah alat komunikasi massal yang mempunyai fungsi mengumpulkan dan mempublikasikan informasi yang terjadi dan merupakan sebuah lembaga yang berpengaruh dan menjadi bagian integral dari masyarakat
R Eep Saefulloh Fatah 
Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah
Wilbur Schramm 
Dalam bukunya Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan 4 teori terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat.[4]
·        UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dari pengertian pers menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers memiliki dua arti, arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pers menunjuk pada lembaga sosial atau pranata sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi.  Sedanglan dalam arti sempit, pers  merujuk pada wahana / media komunikasi massa baik yang lektronik dan cetak.
Wahana komunikasi massa ada dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik.  Media massa elektronik, adalah media massa yang menyajikan informasi dengan  cara mengirimkan informasi melalui peralatan elektronik, seperti radio, televisi, internet, film.  Sedangkan media massa cetak, adalah segala bentuk media massa yang menyajikan informasi dengan cara mencetak informasi itu di atas kertas.  Contoh, Koran, majalah, tabloid, bulletin.[5]

4.      Hakekat Pers berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
a.      Pers Sebagai Refleksi Kebebasan untuk Mengeluarkan Pendapat
Arti kebebasan itu sendiri sebenarnya bersifat anomaly atau mendua. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai istilah untuk menyatakan ketidaktertarikan untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan kehendak dan hati nuraninya maka makna inilah yang dikandung oleh kebebasan secara universal. Pada sisi lain, tahap realisasi dari kebebasan itu sendiri, senantiasa didasarkan atas tingkat keberadaan atau eksistensinya. Kebebasan mengandung dua pengertian yaitu “bebas secara fisik maupun secara psikologis dari…”. Dalam arti positif kebebasan itu adalah “bebas untuk…”. Hakekat dari kebebasan adalah kemampuan positif sehingga manusia dengan berbuat khususnya berbuat (setidaknya dengan tidak berbuat jahat) merealisasikan dirinya untuk menjadi orang yang baik. Hal ini menjadi tanggung jawab insan paling utama sebagai refleksi kebebasannya.
Menurut M. Solly Lubis, kebebasan adalah syarat untuk mencapai hak. Dalam hal ini, untuk mewujudkan jaminan terhadap pelaksanaan hak asasi harus dilaksanakan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari system politik dan kekuasaan yang sedang berjalan. Karena hak asasi itu bersifat Universal maka beberapa ketentuan dalam konvensi internasional berkait dengan kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis kira-kira perlu disebutkan. Di antarnya adalah :
1.      Dalam deklarasi PBB pasal 19 berbunyi :
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Dalam Konversi Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya
Konversi ini merupakan salah satu konvensi yang berkait dengan hak asasi, diterima oleh majelis umum PBB pada 16 Desember 1966. Konvensi ini berlaku sejak 3 Januari 1976. Beberapa pasal dalam ovensi ini yang terkait dengan kebebasan mengeluarkan pendapat tetapi secara tidak langsung dapat disebut diantaranya adalah :
Pasal 15 :
o   Negara-negara peserta perjanjian mengakui hak setiap orang untuk :
a.       Ikut serta dalam kehidupan kebudayaan;
b.      Menikmati manfaat kemajuan ilmiah dan penerapannya;
c.       Memperoleh perlindungan rohani dan materi atas hasil produksi ilmiah sastra dan seni karyanya.
o   Langkah-langkah yang diambil oleh Negara peserta untuk mencapai realisasi sepenuhnya atas hak ini meliputi segala sesuatu yang diperlukan bagi konservasi, pengembangan ilmu dan kebudayaan.
o   Negara-negara peserta konservasi ini berusaha untuk menghormati kebebasan yang sangat dibutuhkan bagi penelitian ilmiah dan kegiatan kreatif.
Dikaitkan dengan UUD 1945, kendatipun Indonesia belum meratifikasi konvensi itu, ketentuan yang diatur di dalamnya telah memperoleh jaminan konstitusional. Secara implisit diatur dalam undang-undang serta diimplementasikan dalam praktik. Hal ini dapat dilihat pada :

1.      Partisipasi dalam lapangan kebudayaan dan karya sastra sebagaimana diatur dalam pasal 32 yang berbunyi : “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”.
2.      Kemajuan dalam bidang ilmiah terkait dengan hak atas pendidikan, dijamin berdasarkan ketentuan pasal 31 yang berbunyi :
1)         Tiap-tiap warga berhak mendapatkan pengajaran;
2)         Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengejaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
3.      Perlindungan atas rohani dijamin berdasarkan ketentuan pasal 29 yang menyatakan :
1)      Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2)      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Masing-masing ketentuan sebagaimana disebut juga sudah diatur dalam dan Undang-undang sebagai aturan pelaksanaannya sesuai dengan amanat konstitusi.

b.      Pers Sebagai Manifestasi Hak untuk Memperoleh Informasi
Secara alamiah pengetahuan manusia itu memang terbatas. Untuk itu manusa senantiasa memerlukan informasi dari sesame manusia lainnya. Dalm hal dan batas tertentu seseorang tidak akan bisa dan tidak mungkin mengontrol, menguji, dan membuktikan kebenaran atas informasi yang ia terima. Oleh karena itu hakekat dari sebuah informasi adalah kebenaran. Sementara bagi penerima informasi yang dibutuhkan adalah kepercayaan. Kebenaran dan kepercayaan bahwa apa yang didengar atau dilihat dan dibacanya itu benar bisa dipercaya. Di dalam perkembangan hidup manusia, informasi senantiasa menduduki posisi penting baik sebagai sarana penambah wawasan terlebih lagi dalam kegunaan praktisnya sebagai komoditas untuk mempertahankan eksistensi hidup. Manusia tidak mungkin hidup tanpa informasi, karena pentingnya posisi ini, juga merupakan hak yang bersifat universal.
John Naisibitt di dalam bukunya Megatrends 2000 menyimpulkan pada masyarakat mutakhir telah terjadi kecenderungan ke arah masyarakat global (megatrend) sebagai berikut:
·         Dari masyarakat industry ke masyarakat informasi
·         Dari teknologi asalanya buatan ke teknologi yang bersifat canggih
·         Dari sentralisasi menuju desentralisasi
·         Dari bantuan kelembagaan menjadi bantuan mandiri
·         Dari demokrasi yang bersifat perwakilan ke demokrasi yang bersifat partisipatif
·         Dari hubungan yang bersifat hiearkhis ke arah hubungan kerjasama
·         Dari kelompok Negara maju (utara) ke kelompok Negara berkembang (selatan)
·         Dari pilihan alternative ke pilihan berganda.
Legalisasi dari munculnya kebutuhan akan informasi yang pada satu ketika mencatat kemajuan amat pesat ini sudah dikemukakan sebelumnya oleh PBB. Dalam pasal 19 konvensi internasional tentang hak-hak sispil dan politik yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1966. Dalam kovensi dinyatakan bahwa :
1.      Setiap orang akan berhak mempunyai pendapat tanpa dicampurtangani;
2.      Setiap orang akan berhak menyatakan pendapat : hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperlihatkan batas, baik secara lisan maupun tertulis atau cetak, dalam bentuk seni, atau melalui sarana lain menurut pilihannya sendiri.
3.      Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan berbagai kewajiban dan tanggung jawab khusus. Maka dari itu dapat dikenakan pembatasan tertentu, tetapi hal demikian hanya boleh ditetapkan dengan undang-undang dan sepanjang diperlukan untuk :
a)      Menghormati hak atau nama baik orang lain
b)      Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum.
Berdasarkan konvensi di atas, diberikan jaminan atas hak untuk menerima dan memberikan informasi baik secara lisan maupun tertulis atau tercetak, termasuk mengekspresikan lewat karya seni. Pembatasan hanya boleh atas dasar undang-undang yang dibuat oleh lembaga berwenang. Berdasarkan ketentuan itu, pemerintah di berbagai Negara memberikan proteksi terhadap kebebasan untuk memperoleh informasi. Termasuk Negara-negara yang beraliran sosialis dan komunis mengartikan legalitas hak untuk memperoleh informasi itu dengan jalan melakukan penguasaan tunggal atas informasi.
Memerinci lebih lanjut dari hak atas informasi itu mengandung tiga elemen pokok :
§  Hak untuk mengumpulkan informasi;
§  Hak untuk menyebarkan informasi;
§  Hak untuk mengkomunikasikan informasi;
Adapun sumber-sumber informasi bagi masyarakat itu pada umumnya berasal dari :
1.         Sumber pendapat orang;
2.         Sumber system informasi;
3.         Eksperimentasi yang dirancang khusus untuk hal itu.[6]

5.      Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia
1)          Pers di masa pergerakan
Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan rakyat Indonesia. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain:
1.         Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920. 
2.         Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
3.         Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
4.         Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
5.         Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno. 
6.         Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
2)      Pers di masa penjajahan Jepang
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa harian yang muncul antara lain:
1.         Asia Raya di Jakarta 
2.         Sinar Baru di Semarang
3.         Suara Asia di Surabaya
4.         Tjahaya di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari zaman Belanda. Namun ada beberapa keuntungan bagi wartawan atau insan pers yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain:
·            Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada pada masa Belanda. 
·            Penggunaan bahasa Indonesia makin sering dan luas. Karena bahasa Belanda berusaha dihapus oleh Jepang, hal ini yang nantinya membantu bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa nasional. 
·            Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi Jepang. Kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa Jepang memudahkan pemimpin bangsa memberi semangat untuk melawan penjajah.
3)      Pers di masa revolusi fisik
Yaitu antara tahun 1945 sampai 1949, saat itu bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:
1)      Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan Pers Nica (Belanda).
2)      Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers Republik yang disuarakan kaum Republik berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan sekutu. Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda.
Contoh koran Republik yang muncul antara lain: harian Merdeka, Sumber, Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional, dan Pedoman. Pers Nica antara lain: Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di Bandung, Suluh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di Medan. Pada masa ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar (SPS) lahir, kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah pers Indonesia.
Untuk menangani pers, pemerintah mcmbentuk Dewan Pers tanggal 17 Maret 1959. Dewan terdiri dari orang-orang persuratkabaran, cendekiawan, dan pejabat pemerintah, dengan tugas:
a.             Penggantian undang-undang pers kolonial. 
b.            Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia (artinya fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah).
c.             Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia.
d.            Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi wartawan Indonesia (tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum, etika jurnalistik, dll).
4)      Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”\
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.

5)      Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilab pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Prof. Oeraar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mas Media dan Hukum menggambarkan kebebasan pers di alam demokrasi pancasila dengan karakteristik berikut:
·               Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat dari expression, seperti dikatakan oleh negara sosialis.
·               Tidak mengandung lembaga sensor preventif. 
·               Kebebasan bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukan tidak bersyarat sifatnya.
·               la merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas tcrtentu, dan syarat-syarat limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh hukum internasional dan ilmu hukum.
·               Kemerdekaan pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka.
·               la merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif karakternya, melainkan ia positif sifatnya, bila ia menyampaikan wettigeinitiativen dari pemerintah.
·               Aspek positif di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya subordinated terhadap penguasa politik.
·               Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positif jarang ditemukan kaum liberatarian sebagai unsur esensial dalam persoalan mass-communication.
·               Pernyataan bahwa pers tidak subordinated kepada penguasa politik berarti bahwa konsep authoritarian tidak acceptable bagi pers Indonesia.
·               Konsentrasi perusahaan pers bentukan dari chains yang bisa merupakan ekspresi dari kapitalisme yang ongebreideld, merupakan suatu hambatan yang deadwerkelijk dan ekonomis terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative atau dalam bentuk lain yang tidak memungkinkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja, adalah perlu.
·               Kebebasan pers dalam lingkunganbatas limitative dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers mereka.
·               Konsentrasi perusahaan yang membahayakan performance dari pers excessive, kebebasan pers yang dirasakan berlebihan dan seolah memberi hak kepada pers untuk misalnya berbohong (the right to lie), mengotorkan nama orang (the right to vility), the right to invade . privacy, the right to distort, dan lainnya dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. la memberi ilustrasi pers yang bebas dan bertanggung jawab (a free and responsible press).
6)      Kebebasan pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Pada masa reformasi, berdasarkan Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1.         Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
2.         Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
3.         Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
4.         Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
5.         Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.[7]
6.      Lintasan Pers di Indonesia
Perkembangan pers Indonesia pada umumnya dibatasi pada momentum tertentu yaitu yang tidak terlepas dari kerangka politik di tanah air. Momentum tersebut berkisar pada :
Ø  Pers prapenjajahan Belanda
Ø  Pers proklamasi dan perjuangan melawan penjajah
Ø  Pers masa liberalism
Ø  Pers “masa politik adalah panglima”
Ø  Pers pembangunan atau pers pancasila
Pada masa penjajahan Belanda, cikal bakal pers nasional berfungsi sebagai satu media informasi dan komunikasi yang menjadi satu kesatuan dengan pergerakan nasional. Para pengusaha dan karyawan pers nasional adalah tokoh pergerakan nasional yang sebagian besar menentang penjajah di tanah air. Di sini pers berfungsi sebagai sarana perjuangan. Pers nasional pada waktu itu jelas membedakan dirinya dengan pers Belanda sebagai alat mempertahankan kekuasaan.
Pada masa proklamasi dan perjuangan melawan penjajah, pengertian dan etos kerja dari pers nasional tidak berubah. Yaitu tetap ambil bagian dalam memperjuangkan cita kemerdekaan. Ada perubahan istilah dari pers Belanda yang kemudian disebut sebagai pers asing. Demikian pula dalam perkembangan selanjutnya, pers nasional mencatat pasang surut sesuai di mana pers tersebut berada. Pers nasional akan juga terus dipacu di masa depan seiring dengan kemajuan pembangunan nasional pada umunya.
Periodisasi tentang perkembangan pers pada umumnya diawali pada masa pra penjajah, pada masa proklamasi kemerdekaan, masa liberalism, masa orde lama yang dimulai setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 dan akhirnya adalah pers pada masa orde baru sampai saat sekarang. Sampai dengan kemerdekaan Indonesia, ada 4 (empat) hal yang digarisbawahi sebagai fenomena umum kehidupan pers pada masa itu. Disadari bahwa semua institusi social memang mempunyai masa tersendiri pada jamannya. 
A.          Dari awal pertumbuhan di Hindia Belanda Nampak bahwa peran pemerintah jajahan begitu dominan dalam bidang pers.
B.           Pers dijadikan sebagai alat untuk kepentingan penguasa dengan tidak memberikan keleluasaan bergerak baik karena keterbatasan fasilitas maupun keterbatasan kemampuan pengelola.
C.           Tingkat intelektualitas masyarakat berpengaruh besar terhadap hidup dan berkembangnya penerbitan sehingga pada akhirnya hanya penerbitan yang sejalan dengan pemerintah saja yang memungkinkan bisa hidup.
D.          Pergesekan kepentingan yang Nampak pada waktu itu adalah antara kepentingan penguasa dengan pengelola pers dan masih belum muncul ke permukaan adanya konflik akibat sajian pers yang merugikan masyarakat.
Dalam perkembangannya di bawah UUDS, ketentuan pasal 19 ayat 33 UUDS menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Kinerja dari badan ini terus berlangsung hingga keluarnya Tap No.II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di dalamnya juga mengatur tentang hal yang berhubungan dengan pers sebagaimana disebut dalam pasal 2 ayat (7) tentang urgensinya memperkuat usaha penerangan dalam fungsinya sebagai media penggerak massa. Pada masa berikutnya yang disebut dengan masa orde baru, atas dasar Tap No. II/MPRS/1960 dan Tap No. XXII/MPRS/1966 mengamanatkan urgensinya UU Pokok Pers. UU dimaksud lahir tanggal 12 Desember 1966.  
Kendala umum yang dihadapi oleh pers dalam kinerjanya dewasa ini berkisar pada masalah berikut :
a.       Keterlibatan media pers kepada oplag;
b.      Adanya Hak privacy;
c.       Adanya kepentingan Negara yang lebih tinggi;
d.      Terkondisinya monopoli;
e.       Pengaruh kekuatan lain.[8]

IV.           KESIMPULAN
Dari beberapa bab di atas ada beberapa hal yang sekiranya dapat disimpulkan, diantaranya :
1.      Media massa yang pertama lahir adalah media cetak. Hal ini sesuai dengan perkembangan teknologi dimana teknologi percetakan lebih dulu lahir dibandingkan dengan teknologi telekomunikasi dan teknologi penyiaran.
2.      Ada beberapa penyebab mengapa terjadi ketimpangan atau ketertinggalan dunia penyiaran dibandingkan dengan dunia jurnalistik cetak. Pertama, pers lahir lebih dahulu daripada pers penyiaran, karena lembaga pers cetak memang labih dahulu lahir daripada lembaga penyiaran. Kedua, sejak masa kemerdekaan, media penyiaran di Indonesia berpuluh-puluh tahun dikuasai oleh pemerintah, sehingga pers penyiaran juga merupakan pers pemerintah.
3.      Menurut Wilbur Schramm dalam bukunya Four Theories of the Press, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility, dan the social communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.
4.      Dua hakekat pers yang berkaitan dengan hak asasi manusia, diantaranya adalah : pers sebagai refleksi kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, dan pers sebagai pemenuhan dari hak untuk memperoleh informasi.
5.       Beberapa harian media yang muncul pada masa penjajahan Jepang adalah : Asia Raya di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya, dan Tjahaya di Bandung.
6.      Beberapa kendala yang dihadapi oleh pers dalam kinerjanya dewasa ini, yaitu: keterlibatan media pers pada oplah, adanya hak privacy, adanya kepentingan Negara yang lebih tinggi, terkondisinya monopoli, dan pengaruh kekuatan lain.

V.               PENUTUP
Demikian makalah mengenai Sejarah Perkembangan Hukum Media di Indonesia. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA
§  Wiryawan SH, MA, Hari, Dasar-dasar Hukum Media, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007.
§  Prof. Dr. H. Wahidin, Samsul, SH, MS, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
http://dhanynurdiansyah.blogspot.com/2013/02/perkembangan-pers-di-indonesia.html


[1] Prof. Dr. H. Wahidin, Samsul, SH, MS, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006. Hal 1
[2] Wiryawan SH, MA, Hari, Dasar-dasar Hukum Media, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hal xi
[3] Ibid, Hal 84-90
[6] Prof. Dr. H. Wahidin, Samsul, SH, MS, Hukum Pers, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, Hal 54-88. 

[8] Prof. Dr. H. Wahidin, Samsul, SH,MS. Op.Cit hal 88-99