I.
PEMDAHULUAN
Di tengah-tengah memaparkan karakter orang-orang
munafik yang di dalam hati mereka ada penyakitnya itu-kita menjumpai suatu
isyarat tentang “setan-setan mereka” dan yang tampak dari paparan surah dan
rangkaian peristiwa bahwa yang dimaksud dengan setan-setan itu adalah kaum
yahudi, yang surah ini berisi serangan-serangan berat terhadap mereka sesudah
itu. Adapun kisah mereka terhadap dakwah adalah sebagai berikut.
Kaum Yahudi adalah orang-orang yang pertama kali
menolak dan memerangi dakwah di Madinah. Penolakan ini banyak sebabnya. Kaum
Yahudi memiliki kedudukan yang istimewa di Yatsrib karena mereka adalah Ahli
Kitab di antara bangsa Arab yang buta tulis baca, seperti Aus dan Khazraj di
samping orang-orang musyrik Arab sendiri tidak menampakkan kecenderungan untuk
memeluk agama Ahli Kitab itu. Hanya saja bangsa Arab itu menganggap kaum Yahudi
itu lebih pintar dan lebih mengerti karena mereka mempunyai kitab. Kemudian di
sana terdapat suatu kondisi yang mapan bagi kaum Yahudi di antara suku Aus dan
Khazraj karena terjadi perpecahan dan perseteruan di antara mereka yang dalam
lingkungan seperti inilah kaum Yahudi mendapatkan lahan pekerjaan.
Setelah Islam datang maka semua keistimewaan itu
lepas dari mereka. Islam datang dengan membawa kitab yang membenarkan kitab
yang datang sebelumnya dan menjaganya. Selanjutnya, Islam melenyapkan
perpecahan yang diembus-embuskan kaum Yahudi untuk menciptakan suasana yang
keruh, tipu daya, dan mengeruk keuntungan. Islam menyatukan barisan kaum
muslimin dengan menghimpun kaum Aus dan Khazraj, yang sejak hari itu mereka
dikenal dengan kaum Anshar, dipersatukan dengan kaum Muhajirin. Dari mereka
semua disusunlah masyarakat muslim yang bersatu bahu-membahu dan teratur rapi
yang tidak pernah ada sebelum dan sesudahnya barisan umat yang seperti itu.[1]
Pada dua Surat yang bergandengan dekat, yaitu
“Al-Muzammil (orang-orang yang berselimut) dan Al-Mudatstsir (orang yang
berkelumun) terbayanglah bagaimana Rasulullah SAW memulai da’wahnya. Apalagi
bila dapat diketahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) kedua surat itu.
Seakan-akan orang yang berselimut, yaitu Nabi Muhammad SAW masih diselimuti
oleh kebingungan demi menghadapi tugas yang amat berat, lalu beliau disuruh
bangun memulai berjuang melakukan da’wah, membulatkan tekad kepada Tuhan dan
membersihkan diri sendiri lahir dan batin dari apapun macam pengaruh alam ini.
Dengan membaca Surat Al-Muzammil pun kita melihat bahwa Nabi SAW disuruh
memperkuat jiwa, memperteguh jiwa dan membuat pribadi menjadi utuh dan tahan
menghadapi segala rintangan dengan melakukan sembahyang malam (qiyamul laili).[2]
Dalam Surat Ash-Shaff kita diajar bagaimana menyusun
barisan menghadapi musuh dan menegakkan jalan Allah agar bersusun bershaf
teratur, lantaran susunan batu-batu tembok yang rapi dalam membangunkan rumah
yang kokoh. Dan dalam surat itu juga kita mendapati ajaran tentang perniagaan
yang selalu beruntung bahkan berlipat ganda untungnya, yaitu berjihad pada
jalan Allah. Di samping itu diterangkan pertalian intisari kebenaran di antara
tiga orang Nabi, yaitu Nabi Musa yang selalu disakiti oleh kaumnya, Nabi Isa
yang mengakui bahwa kedatangannya adalah mengakui Kebenaran Taurat dan memberi
khabar gembira dengan bakal datangnya Nabi bernama AHMAD sesudah dia kelak. Di
ujung Surat Ash-Shaff itu dibayangkan bahwa sebagian dari Bani Isra’il percaya
penuh akan ajaran Isa dan yang segolongan lagi tidak mau menerima.[3]
II.
PERMASALAHAN
Beberapa pembahasan dari makalah ini, diantaranya
adalah :
1.
Q.S. Al-Baqarah
ayat 44 beserta artinya
2.
Mufradat Q.S.
Al-Baqarah ayat 44
3.
Ashbabaul Wurud
turunya Q.S Al-Baqarah ayat 44
4.
Tafsiran Q.S.
Al-Baqarah ayat 44
5.
Q.S. As-Shaff
ayat 2-3 beserta artinya
6.
Mufrdat Q.S
As-Shaff ayat 2-3
7.
Tafsiran Q.S.
As-Shaff ayat 2-3
8.
Q.S. Al-Muzamil
ayat 10-11 beserta artinya
9.
Mufradat Q.S
Al-Muzamil ayat 10-11
10. Tafsiran Surat Al-Muzamil ayat 10-11
III.
PEMBAHASAN
1.
Q.S. Al-Baqarah ayat 44 Beserta Artinya
Artinya : “Mengapa kamu
suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri
(kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu Berpikir? (Q.S : Al-Baqarah :44).[4]
2.
Mufradat Q.S. Al-Baqarah ayat 44
3.
Ashbabaul Wurud turunnya Q.S. Al-Baqarah ayat 44
Kaum Yahudi mengira
bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah dan hanya mereka saja yang berhak
memiliki risalah dan kitab suci. Maka, mereka mengira bahwa Rasul yang terakhir
itu dari kalangan mereka sebagaimana yang mereka harapkan selama ini. Setelah
Rasul datang dan ternyata dari kalangan bangsa Arab, maka mereka berharap bahwa
mereka tidak termasuk wilayah dakwah Rosul ini, dan dakwah itu hanya terbatas
pada golongan Ummi (pribumi) dari kalangan bangsa Arab saja. Ketika mereka
dapati Rosul menyeru mereka- bahkan sebagai orang-orang yang lebih mengenal
beliau daripada kaum musyrikin dan lebih banyak untuk menyambutnya daripada
kaum musyrikin itu, maka bangkitlah kesombongan mereka untuk melakukan dosa.
Mereka menganggap arahan dakwah mereka itu sebagai penghinaan dan pelecehan.
Kemudian timbullah
kedengkian mereka yang amat sangat kepada Nabi SAW. Mereka dengki kepada mereka
dua kali. Pertama, karena Allah telah memilih beliau dan menurunkan kitab suci
kepada beliau- dan mereka tidak pernah meragukan kesahihannya. Kedua, mereka
dengki kepada beliau dengan cepat dapat mencapai hasil yang gemilang di seluruh
Madinah.
Meskipun di sana
terdapat sebab lain bagi dendam dan kedengkian mereka, yaitu karena sikap
mereka yang selalu memusuhi dan menyerang sejak hari-hari pertama, maka mereka
merasa terancam bila terpisah dari masyarakat Madinah yang mereka senantiasa
memegang kepemimpinan intelektual, perdagangan yang menguntungkan, dan riba
yang berlipat ganda. Demikianlah, ataukah mereka harus menerima dakwah yang
baru ini dan melebur ke dalam masyarakat Islam. Inikah dua hal- menurut
perkiraan mereka- sebagai sesuatu yang sangat pahit.
Karena semua itulah
maka kaum Yahudi menyikapi dakwah Islam seperti yang digambarkan dalam surah
al-Baqarah ini (dan surah-surah lainnya yang banyak jumlahnya) dalam uraian
yang cermat, yang kita petikkan di sini beberapa ayat yang mengisyaratkan hal
itu. Di dalam pendahuluan pembicaraan tentang Bani Israel datanglah seruan yang
tinggi ini kepada mereka.
“Hai Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah
Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya aku penuhi
janji-ku kepadamu, dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (tunduk). Dan
berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan
apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama
kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang
rendah, dan hanya kepada-Kulah kamu harus bertakwa. Dan janganlah kamu campur
adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu menyembunyikan yang hak
itu, sedang kamu mengetahui. Dan, dirikanlah Shalat, tunaikanlah zakat, dan
rukulah beserta orang-orang yang ruku. Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
padahal kamu membaca Alkitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (al-Baqarah:
40-44)
Setelah mengingatkan
mereka panjang lebar tentang sikap mereka terhadap Nabi Musa dan pengingkaran
mereka terhadap nikmat-nikmat Allah, kedurhakaan mereka terhadap kitab mereka
dan syariat mereka, serta perusakan janji mereka kepada Allah, maka datanglah
firman Allah kepada kaum muslimin supaya mereka waspada dan berhati-hati
terhadap kaum Yahudi itu.[5]
4.
Tafsiran Q.S. Al-Baqarah ayat 44
Bahaya para tokoh agama
ini –ketika sudah menjadi perusahaan dan perindustrian, bukan lagi akidah
pembebas dan pembela manusia dari kesesatan ialah mereka mengatakan dengan
mulutnya apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Mereka menyuruh orang lain
berbuat baik sementara mereka sendiri tidak mau melakukannya. Mereka mengajak
manusia kepada kebajikan, sedang mereka sendiri mengabaikannya. Mereka mengubah
kalimat-kalimat Allah dari tempatnya, menakwilkan nash-nash yang qath’I demi melayani keinginan dan hawa
nafsu. Mereka membuat fatwa-fatwa dan takwil-takwil yang lahirnya sesuai dengan
lahir nash, tetapi hakikatnya bertentangan dengan hakikat agama, untuk
membenarkan tindakan dan hawa nafsu orang-orang berduit atau penguasa,
sebagaimana yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Yahudi.
Mengajak kepada
kebaikan, tetapi tindakan yang bersangkutan justru bertentangan dengannya, maka
dalam hal ini merupakan bencana yang dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam
jiwa, tetapi juga membahayakan dakwah itu sendiri, karena akan menimbulkan
kegoncangan dan kebimbangan di dalam hati dan pikiran manusia. Pasalnya, mereka
mendengar perkataan yang bagus, tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Maka,
mereka menjadi bingung memikirkan perkataan dan tindakan yang bertentangan ini.
Tindakan semacam ini akan memadamkan cahaya yang dinyalakan akidah di dalam
hati, memadamkan cahaya yang dipancarkan oleh iman, dan akhirnya orang-orang
tidak percaya lagi kepada agama setelah mereka kehilangan kepercayaan kepada
tokoh-tokoh agama.
Perkataan yang
diucapkannya akan mati dan kering, bagaimanapun didengung-dengungkan dan
dikumandangkan, karena ia tidak keluar dari hati yang mempercayai ucapannya itu
sendiri. Tidaklah seseorang akan mempercayai kebenaran ucapannya kecuali kalau
ia sendiri menjadi penerjemah (praktek) hidup bagi ucapannya, membuktikan dalam
kenyataannya. Pada waktu itu, orang pun akan mempercayainya meskipun kalimat
itu tidak didengung-dengungkan dan tidak dikumandangkan. Pada waktu itu,
kekuatannya akan muncul dari prakteknya, bukan dari kumandangnya; keindahannya
mengembang dari kejujurannya, bukan dari siarannya. Mustahil ia akan dapat
menolong kehidupan kalau tidak bersumber dari hati yang hidup.
Menyesuaikan perkataan
dengan perbuatan dan akidah dengan perilaku bukanlah perkara yang mudah dan
tidak datar jalannya. Ia membutuhkan latihan, perjuangan, dan usaha. Ia
membutuhkan hubungan dengan Allah, meminta bantuan dari-Nya, memohon
pertolongan dengan petunjuk-Nya. Maka, pergaulan hidup, kebutuhan-kebutuhannya,
dan tuntutan-tuntutannya banyak yang menjauhkan kenyataan seseorang dari apa
yang dipercaya dalam hatinya atau dari apa yang diserukannya kepada orang lain.
Seseorang yang tidak berhubungan dengan Kekuatan Yang Abadi adalah lemah,
bagaimanapun kekuatannya. Karena, kekuatan, kejahatan, kezaliman, dan
penyelewengan itu lebih besar dari kekuatannya, bahkan kadang-kadang ia dikalahkan
beberapa kali. Saat-saat kelemahan itu kadang-kadang datang kepadanya sehingga
ia menjadi hina dan jatuh serta merugi untuk masa lalunya, masa kini, dan masa
depannya. Adapun jika dia bersandar kepada Kekuatan Yang Azali dan Abadi, ia
akan menjadi kuat dan kuat, lebih kuat dari orang yang kuat. Kuat menghadapi
syahwatnya, kuat menghadapi kelemahannya, kuat menghadapi kebutuhan-kebutuhan
dan tuntutan-tuntutannya, dan kuat menghadapi orang-orang kuat yang
menghadapinya.
Oleh karena itu,
Al-Qur’an memberikan pengarahan kepada orang-orang Yahudi yang dihadapinya
pertama kali itu dan diarahkannya semua manusia sebagai konsekuensi logisnya
agar memohon pertolongan dengan bersabar dan menunaikan shalat. Mengenai
orang-orang Yahudi, mereka dituntut agar mengutamakan kebenaran yang mereka
ketahui itu daripada memfokuskan kepentingan pribadi (kelompok) dengan
bersenang-senang di Madinah. Dan, mengutamakan kebenaran itu dengan harga
(kekayaan) yang sedikit, baik hasil pelayanan keagamaan (yang mereka belokkan
untuk mendapatkan keuntungan) itu maupun kekayaan dunia ini seluruhnya, agar
mereka masuk ke dalam rombongan iman ini sedang mereka sendiri mengajak manusia
kepada keimanan. Semua ini memerlukan kekuatan, keberanian, dan keuletan, serta
memohon pertolongan dengan sabar dan shalat.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang
khusyu, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah:45-46)
Pada umumnya, Dhamir
‘kata ganti’ “innahaa” ( ) adalah dhamir sya’n. Artinya, ajakan untuk mengakui kebenaran dengan
segala sesuatunya ini sangat berat, sulit, dan sukar, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu dan tunduk kepada Allah, yang merasa takut dan bertakwa kepada-Nya,
serta yakin dan percaya bahwa mereka akan bertemu dengan-Nya dan kembali
kepada-Nya.
Memohon pertolongan
dengan sabar ini diulang beberapa kali karena sabar ini merupakan bekal yang
harus dimiliki di dalam menghadapi setiap kesulitan dan penderitaan.
Penderitaan yang pertama kali ialah lepasnya kekuasaan, kedudukan, manfaat, dan
penghasilan demi menghormati kebenaran dan mengutamakannya, serta mengakui
kebenaran dan tunduk kepadanya.
Nah, bagaimana memohon
pertolongan dengan shalat? Bagaimana menjadikan shalat sebagai penolong?
Sesungguhnya shalat
adalah hubungan dan pertemuan antara hamba dan Tuhan. Hubungan yang dapat
menguatkan hati, hubungan yang dirasakan oleh ruh, hubungan yang dengannya jiwa
mendapat bekal di dunia dalam menghadapi realitas kehidupan dunia. Rasulullah
SAW. apabila menghadapi suatu persoalan, beliau segera melakukan shalat.
Sedangkan beliau adalah orang yang erat hubungannya dengan Tuhannya, dan ruhnya
selalu berhubungan dengan wahyu dan ilham. Sumber yang memancar ini senantiasa
dapat diperoleh setiap mukmin yang menginginkan bekal di jalan, ingin minum
ketika haus, ingin bantuan ketika bantuan terputus, dan menginginkan persediaan
ketika barang-barang persediaannya sudah habis.
Yakin akan bertemu
Allah-penggunaan kata “zhann” dan semua bentukannya dengan arti ‘yakin’ banyak
terdapat di dalam Al-Qur’an dan dalam bahasa Arab secara umum- dan yakin akan
kembali kepada-Nya dalam segala urusan, merupakan tempat bergantungnya kesabaran
dan ketabahan, tempat bergantungnya ketakwaan dan kepekaan, sebagaimana ia
menjadi tempat bergantungnya timbangan yang benar bagi tata nilai, nilai dunia
dan nilai akhirat. Apabila lurus timbangan nilai-nilai dan penghargaan ini,
tampaklah bahwa nilai dan harga dunia seluruhnya adalah sedikit, sebagai benda
yang tak berharga. Sebaliknya, tampaklah akhirat menurut hakikatnya, yang
setiap orang yang berakal sehat tidak akan ragu-ragu memilih dan
mengutamakannya. Demikianlah, orang yang mau merenungkan pengarahan Al-Qur’an
yang ditujukan kepada Bani Israel itu niscaya dia akan mendapatinya sebagai
pengarahan abadi yang selalu tertuju kepada semua manusia.[6]
5.
Q.S. As-Shaff ayat 2-3 Beserta Artinya
Artinya : Wahai orang-orang yang
beriman! Karena apa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amatlah
dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S.
Ash-Shaff : 2-3)[7]
6.
Mufradat Q.S. As-Shaff ayat 2-3
7.
Tafsiran Q.S. As-Shaff ayat 2-3
Mula sekali dipanggil nama yang patuh, yaitu
orang-orang yang beriman! Panggilan itu adalah panggilan yang mengandung
pengormatan yang tinggi. Tetapi, panggilan itu diiringi dengan pertanyaan, dan
pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran; Kamu telah mengaku diri
orang yang beriman, dan Tuhan pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang
penuh penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan dengan mulutmu apa
yang tidak pernah kamu kerjakan. Sebab mengatakan dengan mulut apa yang tidak
pernah dikerjakan tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengaku beriman
kepada Allah. Syaikh Jamaluddin Al-Qasimiy menulis dalam tafsirnya :
“Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta, dan berdusta
sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai murau-ah, yaitu yang tahu harga diri. Sedang muru-ah itu adalah
dasar yang utama yang menyababkan timbulnya Iman. Karena Iman yang asli ialah
kembali kepada fitrah yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar
itulah dia. Kalau iman asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya pula dia akan
menumbuhkan pula berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam
berbagai ragamnya, yang diantaranya ialah ‘IFFAH’, artinya dapat mengendalikan
diri. Kesanggupan mengendalikan diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga
diri, dan itulah dia muru-ah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda
muru-ahnya telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah
adalah khabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan
susunan kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari mulut
memakai bibir dan lidah. Sedang suatu dusta adalah kata-kata ucapan mulut yang
berbeda di antara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan
demikian maka pelakunya telah masuk ke dalam perangkap syaithan.
Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangat
dibenci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi orang yang telah
mengaku beriman. Ayat 2 dan 3 ini adalah peringatan sungguh-sungguh bagi orang
yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya jangan menjadi
pembohong.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah
SAW. berkata bahwa dia menghafal ucapan Rasulullah SAW. yang demikian bunyinya
“Tinggalkanlah barang yang
menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan. Sesungguhnya
kejujuran membuat hati tenteram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu.” (Diriwayatkan
oleh At-Tarmidziy).
Sebab itu maka hati orang yang beriman itu tidaklah
boleh ragu-ragu. Ragu-ragu hanya dapat hilang apabila hidup bersikap jujur.
Kejujuran untuk memupuk iman. Iman itu mesti selalu dijaga. Kalau dilihat
sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman diberi nasehat supaya
jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jarang kejadian, karena kurang
pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab itu kita dapatilah di
dalam Al-Qur’an beberapa peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya dia
bertaqwa.
Dalam surat ke 4, An Nisaa ayat 136 diperingatkan
dengan jelas;
“Wahai orang-orang yang beriman!
Berimanlah kepada Allah dengan Rasul-Nya.”
(Q.S. An-Nisaa : 136)
Orang yang perkataannya tidak cocok dengan
perbuatannya tidaklah akan ada padanya keberanian berjuang dengan
sungguh-sungguh. Sebab, Qitaal atau Jihaad, berperang atau berjuang
menghendaki disiplin jiwa sebelum disiplin sikap.
Dalam ayat ini Allah menyatakan cintanya kepada
hambanya yang beriman, bilamana mereka bersusun berbaris dengan teratur
menghadapi musuh-musuh Allah di medan perang. Mereka berperang pada jalan
Allah, membunuh ataupun terbunuh. Tujuan mereka hanya satu, yaitu supaya
kalimat Allah tetap di atas dan agama Tuhan tetap menang, di atas dari segala
agama.
Tersebut, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Ahmad, yang diterima dengan sanadnya dari sahabat Nabi Anu Sa’id
Al-Khudry :
“Bersabda Rasulullah SAW: “Tiga
orang yang Allah tertawa melihat mereka : 1) seorang laki-laki yang bangun
sembahyang tengah malam, 2) Suatu qaum yang bershaff diwaktu sembahyang, 3) dan
suatu qaum yang bershaff ketika berperang.”
Oleh sebab itu maka sembahyang dan berperang samalah
memerlukan Iman. Di zaman Nabi SAW. hidup, Nabi Imam dalam sembahyang dan Imam
dalam berperang. Kalau dalam sembahyang seorang ma’mun tidak boleh mendahului
Imam, dalam peperangan seorang prajurit pun wajib patuh, tunduk, dan tidak
membantah sedikit pun kepada perintah atasan.
Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa Rasulullah SAW.
ketika akan memulai peperangan dengan musuh mestilah lebih dahulu mengatur
barisan; “Seakan-akan mereka suatu bangunan yang kokoh.” Muqatil bin Hayyan
berkata; “Rapat bersusun di antara yang satu dengan yang lain.”
Qatadah berkata; “Seakan-akan bangunan yang kokoh!
Tidakkah kau lihat seorang yang membangunkan suatu bangunan? Tidak ada yang
tertonjol atau tinggi rendahan. Demikian pulalah Allah Azza wa jalla tidaklah
Dia suka perintahnya tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Allah
memerintahkan barisan di medan perang sebagaimana barisan di medan sembahyang
berjama’ah. Teguhilah memegang perintah Allah ini supaya kamu menang!”
Dengan ajaran ini teranglah bahwa Islam bukanlah
semata-mata untuk kepentingan diri, untuk bersamadi merenung diri dengan tidak
mementingkan masyarakat. Seorang muslim adalah anggota dari masyarakat Islam
yang besar. Di antara agama dengan keduniaan tidak ada pemisahan. Di waktu Rasulullah
SAW. hidup masyarakat Islam telah terbentuk. Setelah beliau wafat, jenazah
beliau belum dikebumikan sebelum diangkat Khalifah beliau yang akan menjadi
IMAM menggantikan beliau. Maka tiap-tiap anggota masyarakat Islam wajiblah
selalu mengokohkan Iman memperteguh hati dan sedia selalu buat berjuang.
Rasulullah SAW. bersabda :
“Barang siapa yang memohonkan agar
dia mati dalam syahid dengan segala kejujuran hati niscaya Allah akan
menyampaikannya ke tempat orang yang mati syahid, walaupun dia meninggal di
atas pembaringannya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Hadits Sahl
bin Haniif).[8]
8.
Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11 Beserta Artinya
Dan bersabarlah engkau atas apa yang mereka katakan
itu dan hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah. Dan biarkanlah Aku
bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, yang mempunyai kemewahan,
dan berilah mereka tangguh sejenak. (Q.S. Al-Muzammil : 10-11).[9]
9.
Mufradat Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11
10.
Tafsiran Surat Al-Muzammil ayat 10-11
“Dan bersabarlah engkau
atas apa yang mereka katakan itu”.
Macam-macamlah kata-kata yang dilontarkan oleh kaum
musyrikin itu terhadap Nabi SAW. untuk melepaskan rasa dendam dan benci.
Dituduh gila, dituduh tukang sihir, dituduh tukang tenung dan sebagainya. Maka
disuruh Tuhanlah Nabi bersabar, jangan naik darah, hendaklah berkepala dingin
mendengarkan kata-kata demikian. Karena jika kesabaran hilang, pedoman jalan
yang akan ditempuh atau rencana yang tengah diperbuat akan gagal semua tersebab
hilang kesabaran. Sabar adalah satu syarat mutlak bagi seseorang Nabi atau
seorang pemimpin yang ingin berhasil dalam perjuangannya.
“Dan
hijrahlah dari mereka dengan hijrah yang indah” (Q.S.
Al-muzzamil :10)
Hijrah yang dimaksud
disini belumlah hijrah negeri, khususnya belum hijrah ke Madinah. Hijrah disini
ialah dengan jalan menjauhi mereka, jangan dirapatkan pergaulan dengan mereka.
Jika mereka memaki-maki atau mencela, berkata yang tidak bertanggung jawab,
sambutlah dengan sabar dan jangan dibalas dengan sikap kasar pula. Hijrah yang
indah ialah membalas sikap mereka yang kasar itu dengan budi yang luhur, dengan
akhlak yang tinggi. Tentang keluhuran budi itu telah ada pengakuan Allah atas
Rasulnya pada ayat 4 dari surat ke-68, Al-Qalam. Lantaran itu bagaimana
sakitnya telinga mendengarkan caci maki mereka, janganlah Nabi menghadapi
mereka, jauhi saja mereka.
“Dan biarkanlah Aku bertindak
terhadap orang-orang yang mendustakan itu”.
Janganlah engkau menuntut balas sendiri terhadap kekasaran
sikap orang-orang yang mendustakan itu. Teruskan saja melakukan da’wah yang
ditugaskan Tuhan ke atas pundakmu. Tentang menghadapi orang-orang seperti itu
dan menentukan hukumnya, serahkan sajalah kepada Allah;
“Yang mempunyai kemewahan”
Biasanya mereka berani
mendustakan Rasul Allah mentang-mentang mereka kaya, mentang-mentang mereka
hidup mewah penuh ni’mat, sehingga mereka tidak mau mengingat bahwa nikmat yang
mereka gelimangi itu mereka terima dari Allah;
“Dan
berilah mereka tangguh sejenak” (Q.S. Al-Muzammil :11)
Artinya, biarkanlah mereka bersenang-senang,
bermewah-mewah sebentar waktu. Akan berapalah lamanya dunia ini akan mereka
pakai. Kemewahan itu tidak akan lama. Ada-ada saja jalannya bagi Tuhan untuk
mencabut kembali nikmat itu kelak. Karena Tuhan itu Maha Kuasa memutar balikkan
sesuatu. Sejauh-jauh perjalanan hidup, akhirnya akan mati. Segagah-gagah badan
waktu muda, kalau umur panjang tentu akan tua. Sesehat-sehat badan, satu waktu
akan sakit. Atau harta itu sendiri licin tandas, sebagaimana licin tandasnya
kebon yang terbakar karena yang empunya bakhil semua, sebagai dijelaskan Tuhan
dalam Surat ke 68, Al-Qalam juga.[10]
IV.
KESIMPULAN
V.
PENUTUP
Demikian makalah mengenai Q.S. Al-Baqarah ayat 44,
Q.S. Ash-Shaff ayat 2-3, dan Q.S. Al-Muzammil ayat 10-11. Kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Sayyid, Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di bawah
naungan Al-Qur’an Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000.
·
Prof. Dr. Hamka,
“Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII”
Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982.
·
Prof. Dr. Hamka,
“Tafsir Al-Azhar JUZU XXX” Surabaya,
PUSTAKA ISLAM, 1983.
[1]
Sayyid,
Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di
bawah naungan Al-Qur’an Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000, hal 49-50.
[2]
Prof.
Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXX”
Surabaya, PUSTAKA ISLAM, 1983.
[3]
Prof. Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII” Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982,
hal 11
[4]
Sayyid,
Quthb, “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an” (Di
bawah naungan Al-Qur’an Jilid 1) Jakarta, Gema Insani, 2000, hal 114.
[5]
Ibid, hal 50-51
[6]
Ibid, hal 117-119
[7]Prof.
Dr. Hamka, “Tafsir Al-Azhar JUZU XXVII”
Surabaya, PT Bina Ilmu Offset, 1982, hal 154.
[8]
Ibid, hal 155-159.
[10]
Ibid, hal 194-195.
bagus sekalli makalahnya, terima kasih dengan isi makalah ini saya dapat bekal untuk ujian komprehensif. semoga besok berjala lanjar.
BalasHapusamin ya rabbal alamin.